Sejarah berdirinya Pondok Pesantren

Sejarah berdirinya Pondok Pesantren

 A. Pengertian dan Asal Usul Pondok Pesantren
Pesantren adalah sebuah pendidikan tradisional yang para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berarti asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau. Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Abad pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.

Arti pondok menurut Sugarda Poerbawakatja dalam Ensiklopedi Pendidikan adalah suatu tempat pemondokan bagi pemuda-pemudi yang mengikuti pelajaran-pelajaran agama Islam. Inti dan realitas pondok tersebut yakni kesederhanaan dan tempat tinggal sementara bagi para penuntut ilmu. Sedangkan istilah pesantren berasal dari kata santri kemudian diimbuhi awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti para penuntut ilmu.  Sedikitnya ada tiga pendapat berbeda mengenai asal-muasal kata pesantren. Pertama, kata santri tersebut terdapat dalam bahasa Tamil atau India “shastri”, yang artinya guru mengaji atau orang yang memahami (sarjana) buku-buku dalam agama Hindu. Hal tersebut didukung oleh keterangan Yasmadi dalam buku Modernisasi Pesantren yang mengutip penjelasan Karel A. Steenbrink, bahwa Pondok pesantren dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum Islam masuk ke Indonesia sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Kawa. Kemudian diambil oleh Islam. Dengan kata lain istilah pesantren bukan berasal dari Bahasa Arab melainkan dari India. (https://penjelasani.blogspot.com/2019/11/sejarah-munculnya-pondok-pesantren-di-nusantara.html)

Pesantren, pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah sebuah asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya.

Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berarti asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau. Ketiga, pesantren mempunyai asal kata dari bahasa Sankrit, yaitu sant dan tra. Sant artinya manusia baik dan tra adalah suka menolong, sehingga dari kedua kata tersebut terbentuklah suatu pengertian yaitu tempat pendidikan manusia agar menjadi baik.

Sementara secara terminologi, pesantren dimaknai sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, dimana kiai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran  agama Islam di bawah bimbingan kiai yang diikuti oleh santri sebagai kegiatan utamanya.  Menurut Abdurrahman Wahid dalam buku Pesantren sebagai Subkultur, pesantren adalah sebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan di sekitarnya.

Dalam kompleks itu berdiri beberapa buah bangunan seperti rumah kediaman pengasuh (di daerah berbahasa Jawa disebut kiai, di daerah berbahasa Sunda ajengan, dan di daerah berbahasa Madura nun atau bendara, disingkat ra); sebuah surau atau masjid; tempat pengajaran diberikan (bahasa Arab madrasah, yang juga terlebih sering mengandung konotasi sekolah); dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren. Di pesantren itulah santri digembleng dan dibimbing ke arah yang sempurna. Nilai-nilai keIslaman wajib untuk dikembangkan seiring dengan perkembangan santri itu sendiri dan juga perkembangan di masyarakat. Para santri yang sudah resmi menjadi anggota pesantren, ia akan mengalami transisi psikologis, karena di tempat yang baru ini mereka dituntut menempuh kehidupan yang sederhana dan semua keperluan sehari-hari harus diatur sendiri.

Di sisi lain, Mastuhu dalam buku Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren mengartikan pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami, menghayati, dan sekaligus mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pendapat senada mengenai pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Kesimpulan ini berdasarkan fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan agama Hindu dan tempat membina kader. Anggapan lain mempercayai bahwa pesantren bukan berasal dari tradisi Islam alasannya adalah tidak ditemukannya lembaga pesantren di negara-negara Islam lainnya, sementara lembaga yang serupa dengan pesantern banyak ditemukan dalam masyarakat Hindu dan Budha, seperti di India, Myanmar dan Thailand.

Pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke 16. Pesantren-pesantren besar yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fikih, teologi dan tasawuf. Pesantren ini kemudian menjadi pusat-pusat penyiaran Islam seperti; Syamsu Huda di Jembrana (Bali), Tebu Ireng di Jombang, Al Kariyah di Banten, Tengku Haji Hasan di Aceh, Tanjung Singgayang di Medan, Nahdatul Watan di Lombok, Asadiyah di Wajo (Sulawesi) dan Syekh Muhamad Arsyad Al-Banjar di Matapawa (Kalimantan Selatan) dan banyak lainnya. (https://darunnajah.com/sejarah-pesantren-di-indonesia)

Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok atau asrama dalam pesantren tersebut. Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai. Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula asrama yang didirikan. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal ke mana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.

Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Di dalam kehidupan pesantren, tercipta situasi yang komunikatif antara Kyai dan santri, maupun antara santri dengan santri. Para santri menganggap Kyai seolah-olah menjadi bapaknya sendiri, sedangkan santri dianggap Kyai sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi. Sikap timbal balik tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan dan saling menyayangi satu sama lain, sehingga mudah bagi Kyai dan ustaz untuk membimbing dan mengawasi anak didiknya atau santri.

Dalam sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren telah mengalami beberapa fase perkembangan, termasuk dibukanya pondok khusus perempuan. Dengan perkembangan tersebut, terdapat pondok perempuan dan pondok laki-laki. Sehingga pesantren yang tergolong besar dapat menerima santri laki-laki dan santri perempuan, dengan memilahkan pondok-pondok berdasarkan jenis kelamin dengan peraturan yang ketat. Setiap pesantren bisa dipastikan memiliki masjid. Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri. Sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid ini sebenarnya sudah diterapkan sejak dulu oleh Nabi Muhammad SAW.

Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya para santri mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mereka mendapat fasilitas yang sama antara santri yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan menaati peraturan yang ditetapkan di dalam pesantren tersebut dan apabila ada pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Dengan pola pendidikan seperti itu, maka akan membentuk santri-santri yang berkarakter dan berkepribadian kuat.

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Dalam perkembangannya, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga sudah menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya. Sehingga dunia pesantren sebetulnya sudah banyak memiliki kontribusi yang luar biasa kepada Indonesia, dan tentu saja pesantren tidak dapat dipisahkan dari Indonesia. Seiring perkembangan zaman, serta tuntutan masyarakat atas kebutuhan pendidikan umum, kini sudah banyak pesantren yang menyediakan menu pendidikan umum dalam pesantren. Jadi bagi yang takut masuk pesantren karena tidak akan mendapat pendidikan umum, sekarang jangan khawatir lagi. Dalam perjalanan sejarahnya sampai sekarang, pesantren telah banyak melahirkan tokoh-tokoh bangsa yang kontribusinya bagi Indonesia dan bahkan dunia sudah tidak diragukan lagi. Jadi siapa bilang nyantri di pesantren tidak memiliki masa depan yang cerah?! Ini juga menepis anggapan bahwa pesantren identik dengan anak-anak nakal. (http://radiounisia.com/2018/02/13/sejarah-pondok-pesantren/).

Sedangkan menurut Abdurrahman Mas’ud dalam buku Ideologi Pendidikan Pesantren Pesantren yang dikutip oleh Ahmad Muthohar mengatakan bahwa pesantren adalah tempat dimana para santri mencurahkan sebagian besar waktunya untuk tinggal dan memperoleh pengetahuan. Dalam peraturan Menteri Agama RI dijelaskan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat baik sebagai satuan pendidikan atau sebagai wadah penyelenggara pendidikan.  Pesantren juga memiliki dua arti jika dilihat dari segi fisik dan pengertian kultural. Dari segi fisik, pesantren merupakan sebuah kompleks pendidikan yang terdiri dari susunan bangunan, dilengkapi dengan sarana prasarana sebagai pendukung penyelenggaraan pendidikan.

Sedangkan secara kultural, pesantren mencakup pengertian yang lebih luas mulai dari sistem nilai khas yang secara intrinsik melekat di dalam pola kehidupan komunitas santri, seperti kepatuhan pada kiai sebagai tokoh sentral atau pemimpin, sikap ikhlas dan tawadhu, serta pewarisan tradisi keagamaan secara turun-temurun. Tradisi erat kaitannya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti dalam bidang agama, sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. Kemungkinan adanya tradisi dalam bidang pendidikan adalah besar sekali mengingat aktifitas tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan setiap masyarakat, betapapun sederhananya corak pendidikan yang dimaksud.  Tradisi memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan, bahkan ia dapat menjadi demikian penting bagi masyarakat karena memberikan banyak makna bagi mereka, siapapun  yang hidup dan ingin mengembangkan kehidupan maka dia harus punya tradisi.

Ada pula yang mendefnisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-sehari. Adapun kiai sebagai pemimpin pesantren merupakan elemen yang paling esensial, karena dari pemimpin tersebut mengalirkan kekuasaan dan kewenangan dalam lingkungan dan penghidupan pesantren. Pemimpin-pemimpin pesantren biasanya memiliki kelebihan-kelebihan baik di bidang ilmu pengetahuan, kedudukan sosial, maupun yang lainnya. Oleh karena itulah beliau sebagai simbol dinamika kehidupan agama.

Marwan Saridjo dkk. dalam buku Sejarah Pesantren di Indonesia yang dikutip Babun Suharto membedakan antara pondok pesantren dengan pesantren. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara sorogan dan bandongan, dimana seorang kiai mengajar para santrinya berdasarkan kitab-kitab klasik (Kutub al-Muqaddimah) dalam bahasa Arab yang lazim disebut kitab kuning dan biasanya santri tinggal di pondok atau asrama pesantren tersebut. Sementara itu, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut, hanya saja para santrinya tidak disediakan pondokan di komplek tersebut.

Beberapa pengertian di atas memeberikan pemahaman yang hampir sama tentang definisi pesantren. Ada tiga pengertian kunci yang dapat kita petik dari pengertian-pengertian tersebut, yaitu pertama tempat pembelajaran agama Islam, kedua tersedia asrama sebagai tempat tinggal dan ketiga adanya pengaruh relasi yang kuat dari kiai kepada santrinya. Jadi, pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam yang menyediakan asrama sebagai tempat tinggal pada santri dengan otoritas sangat kuat dari seorang kiai. Pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam yang sangat diminati masyarakat sampai pada era modern seperti sekarang ini. Dari masa awal sejarah berdirinya pesantren sampai sekarang, pesantren dapat bertahan dari gelombang perubahan zaman yang terjadi. Adapun penulis menyimpulkan bahwa pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang dijadikan tempat tinggal para santri untuk mendalami, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddin) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari, yang di dalamnya terdapat lima elemen penting yaitu, kiai, asrama atau pondok, masjid, santri dan pengajian kitab kuning.

Berbedanya pengertian istilah pesantren di atas, disebabkan karena banyaknya kepentingan dan sudut pandang yang digunakan. Namun, jika ditarik sebuah kesimpulan, maka pesantren dimaknai sebagai lembaga pendidikan sederhana yang mengajarkan sekaligus menginternalisasikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari agar anak didiknya (santri) menjadi orang yang baik sesuai dengan standar agama dan diterima oleh masyarakat luas.

B. Sejarah Lahirnya Pondok Pesantren di Indonesia
Pesantren jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang ada di Indonesia lainnya merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous. Pendidikan ini semula adalah pendidikan agama Islam yang ditandai dengan munculnya Islam di Nusantara pada abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan didirikannya tempat-tempat pengajian. Bentuk tersebut kemudian berkembang dengan dibangunnya tempat menginap bagi para santri yang kemudian disebut pesantren. Meskipun bentuknya masih sederhana, namun pada saat itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur, sehingga pendidikan tersebut dianggap sangat kompeten.

Ditinjau dari sejarahnya, belum ditemukannya data pasti mengenai kapan pertama kali pesantren didirikan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa pesantren telah tumbuh sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, sementara yang lain membantah bahwa pesantren baru muncul pada masa wali songo dan Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai orang yang pertama kali mendirikan pesantren. Namun berdasarkan penelusuran, setidaknya ditemukan tiga versi pendapat: Pertama, pondok pesantren berakar dari tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pondok pesantren mempunyai kaitan erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan pada fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat, hal ini ditandai dengan terbentuknya kelompok-kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin terekat itu disebut kiai, yang mewajibkan melaksanakan suluk selama 40 hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama sesama anggota tarekat di sebuah masjid untuk melakukan ibadah-ibadah berdasarkan bimbingan kiai. Untuk keperluan suluk ini, para kiai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat memasak yang terdapat di bagian kiri dan kanan masjid. Di samping menjalankan amalan tarekat, para pengikut juga diajarkan kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan agama Islam.

Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengkajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pondok pesantren. Kedua, pondok pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambilan alih dari sistem pondok yang diadakan orang-orang Hindu di Nusantara, pendirian pondok ini dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu atau merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari praktik pendidikan pra-Islam atau masa kekuasaan Hindu Budha. Fakta lain menunjukkan bahwa pondok pesantren bukan berasal dari tradisi Islam adalah tidak ditemukannya lembaga pondok pesantren di negara-negara Islam lainnya. Atau dengan kata lain pesantren memiliki hubungan historis dengan lembaga pendidikan pra-Islam yang sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu Budha, lalu Islam melanjutkan dan meng-Islamkannya.

Ketiga, berdirinya pondok pesantren bermula dari seorang kiai yang menetap (bermukim) di suatu tempat. Kemudian datanglah santri yang ingin belajar kepadanya dan turut pula bermukim di tempat itu. Sedangkan biaya kehidupan dan pendidikan disediakan bersama-sama oleh para santri dengan dukungan masyarakat di sekitarnya. Hal ini memungkinkan kehidupan pesantren bisa berjalan stabil tanpa dipengaruhi oleh gejolak ekonomi luar.  Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo, karena itu Pondok pesantren adalah salah satu tempat berlangsungnya interaksi antara guru dan murid, kiai dan santri dalam intensitas yang relatif dalam rangka mentransfer ilmu-ilmu keIslaman dan pengalaman. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Tallo, Sulawesi.

Pesantren Ampel yang didirikan oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim, merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing, maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti apa yang mereka pelajari selama di Pesantren Ampel. Hal tersebut terbukti dengan adanya Pesantren Giri di Gresik bersama institusi sejenis di Samudra Pasai telah menjadi pusat penyebaran ke-Islaman dan peradaban ke berbagai wilayah Nusantara. Pesantren Ampel Denta menjadi tempat para wali yang mana kemudian dikenal dengan sebutan wali songo atau sembilan wali menempa diri. Dari pesantren Giri, santri asal Minang, Datuk ri Bandang, membawa peradaban Islam ke Makassar dan Indonesia bagian Timur lainnya, lalu mengenalkan Syekh Yusuf, ulama besar dan tokoh pergerakan bangsa mulai dari Makassar, Banten, Srilanka hingga Afrika Selatan. Di lihat dari sejarahnya, pesantren memiliki usia yang sama tuanya dengan Islam di Indonesia. Syaikh Maulana Malik Ibrahim dapat dikatakan sebagai peletak dasar-dasar pendidikan pesantren di Indonesia. Pesantren pada masa awal berdirinya merupakan media untuk menyebarkan ajaran agama Islam dan karenanya memiliki peran besar dalam perubahan sosial masyarakat Indonesia.

Pada tahapan awal pembentukan pesantren, umumnya masjid menjadi pusat pendidikan bagi masyarakat. Di masjidlah kegiatan pembelajaran dilakukan. Pada perkembangan selanjutnya pesantren dilengkapi dengan pondok atau tempat tinggal santri. Pembangunan fasilitas-fasilitas pesantren dipimpin oleh kiai, dengan bantuan masyarakat sekitarnya. Masyarakat dengan sukarela mewakafkan tanahnya, menyumbangkan dana atau material yang diperlukan, bahkan tidak jarang yang menyumbangkan tenaga juga. Pada intinya masyarakat berusaha mendukung terselenggaranya pendidikan berbasis pesantren pada saat itu. Hal semacam ini masih sering terjadi di pesantren-pesantren hingga sekarang.

Di awal Abad 19, kiai Basari dari Pesantren Tegalrejo-Ponorogo mengambil peran besar. Pesantren ini menempa banyak tokoh besar seperti Pujangga Ronggowarsito. Pada akhir abad itu, posisi serupa diperankan oleh kiai Kholil, Bangkalan-Madura. Dialah yang mendorong dan merestui KH. Hasyim Asy’ari atau Hadratus Syeikh, santrinya dari pesantren Tebuireng-Jombang untuk membentuk Nahdlatul Ulama (NU). NU (Nahdlatul Ulama) menjadi organisasi massa Islam terbesar dan paling berakar di Indonesia. Di jalur yang sedikit berbeda, rekan seperguruan Hadratus Syeikh di Makkah, KH. Ahmad Dahlan berperan dalam mempengaruhi kelahiran “pesantren modern” seperti Pondok Gontor-Ponorogo yang berdiri pada tahun 1926. Pondok ini selain memasukkan sejumlah mata pelajaran umum kedalam kurikulumnya, juga mendorong para santrinya untuk mempelajari bahasa Inggris selain bahasa Arab dan melaksanakan sejumlah ekstra kurikuler seperti olah raga, kesenian dan sebagainya.

Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak ditemukan pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan sebagian Jawa Tengah dan Timur. Pesantren dengan metode dan keadaan di atas kini telah mengalami reformasi, meski beberapa materi, metode dan sistem masih dipertahankan. Namun keadaan fisik bangunan dan masa studi telah terjadi pembenahan. Setelah Indonesia merdeka, pesantren banyak menyumbangkan tokoh-tokoh penting dalam pemerintahan Indonesia, sebut saja Mukti Ali yang dahulu pernah menjabat sebagai Menteri Agama, dan yang lebih terpenting lagi, dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presidan Indonesia yang keempat, adalah juga mewakili tokoh yang muncul dari kalangan pesantren.

Ketahanan yang ditampilkan pesantren dalam menghadapi laju perkembangan zaman, menunjukkan kiprahnya sebagai suatu lembaga pendidikan, pesantren mampu berdialog dengan zamannya, yang pada gilirannya hal tersebut dapat menumbuhkan harapan bagi masyarakat. Pesantren dapat dijadikan sebagai lembaga pendidikan alternatif pada saat ini dan masa depan. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa pondok pesantren bagaimanapun asal mula terbentuknya, tetap menjadi lembaga pendidikan dan keagamaan Islam tertua di Indonesia. Walapun sulit diketahui kapan permulaan munculnya, tetapi banyak dugaan yang mengatakan bahwa lembaga pondok pesantren mulai berkembang tidak lama setelah masyarakat Islam terbentuk di Indonesia. Karena Islam masuk dan berkembang di Indonesia melalui perdagangan interNasional yang pusatnya adalah kota-kota pelabuhan. Pembentukan masyarakat di kota ini tentunya mempengaruhi pembentukan lembaga pendidikan yang kebetulan belum terstruktur, sehingga kota-kota tersebut menjadi pusat studi Islam yang dikembangkan oleh para ulama yang berada di sana.

C. Unsur-unsur Pondok Pesantren
Ada lima elemen dalam suatu pondok pesantren yaitu kiai, pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik.

a. Kiai
Kiai adalah tokoh sentral dalam satu pesantren, maju mundurnya pesantren ditentukan oleh wibawa dan kharisma sang kiai. Menurut asal usulnya, perkataan kiai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, misalnya Kiai Garuda Kencana dipakai sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta. Kedua, gelar kehormatan untuk orang-orang tua. Ketiga, gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam Klasik kepada santrinya.  Kiai dalam pembahasan ini mengacu kepada pengertian yang ketiga.

b. Pondok (Asrama)
Pondok merupakan tempat tinggal bersama antara kiai dengan para santrinya. Di Pondok, seorang santri patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan yang diadakan, ada kegiatan pada waktu tertentu yang mesti dilaksanakan oleh santri. Ada waktu belajar, sholat, makan, olah raga, tidur dan bahkan ronda malam. Pada awal perkembangannya, pondok bukanlah semata-mata dimaksudkan sebagai tempat tinggal atau asrama para santri, untuk mengikuti dengan baik pelajaran yang diberikan kiai, tetapi juga tempat training atau latihan bagi santri yang bersangkutan agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat. Para santri di bawah bimbingan kiai bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam situasi kekeluargaan dan bergotong royong sesama warga pesantren. Tetapi sekarang ini tampaknya lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama, dan setiap santri dikenakan semacam sewa untuk pemeliharaan pondok tersebut.

c. Santri
Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu:
1) Santri mukim, ialah santri yang berasal dari daerah jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
2) Santri kalong, yaitu santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren. Mereka pulang ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti pelajaran di pesantren.

Di dunia pesantren sering terjadi tahap ketika seorang santri pindah dari suatu pesantren ke pesantren lain. Setelah seorang santri merasa sudah cukup lama di sauatu pesantren, maka dia pindah ke pesantren lain. Biasanya kepindahannya itu untuk menambah dan mendalami suatu ilmu yang menjadi keahlian dari seorang kiai yang didatanginya itu.

d. Masjid
Suatu pesantren mutlak memiliki masjid, sebab di situlah pada mulanya (sebelum pesantren mengenal sistem klasikal) dilaksanakan proses belajar mengajar, dan komunikasi antara kiai dengan santri. Walaupun sekarang kebanyakan pesantren telah melaksanakan proses belajar-mengajar di dalam kelas, namun masjid tetap difungsikan sebagai tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar. Kiai masih sering mempergunakan masjid sebagai tempat membaca kitab-kitab klasik dengan metode wetonan dan sorogan.

e. Pengajaran Kitab-kitab Klasik
Pengajaran Kitab-Kitab Islam Klasik merupakan salah satu unsur dalam pesantren.  Kitab-kitab Islam klasik yang lebih popular dengan sebutan kitab kuning ditulis oleh ulama-ulama Islam zaman pertengahan. Kepintaran dan kemahiran seorang santri diukur dari kemampuannnya dalam hal membaca serta mensyarah (menjelaskan) isi kitab-kitab tersebut. Untuk tahu membaca sebuah kitab dengan benar, sorang santri dituntut untuk mahir dalam ilmu-ilmu bantu seperti nahwu, sharaf, balaghah, ma’ani, bayan dan sebagainya.

Kategori Pondok Pesantren
Seiring dengan laju perkembangan masyarakat, maka pendidikan pesantren baik tempat, bentuk hingga substansinya telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan seseorang, akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman. Ciri-ciri Pesantren secara global hampir sama, namun dalam realitasnya terdapat beberapa perbedaan terutama jika dilihat dari proses dan substansi yang diajarkan.  Adapun kategorisasi pondok pesantren terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:

a. Pesantren Salafi
Pesanten salafi adalah bentuk asli dari pesantren. Sejak pertama kali didirikan, format pendidikan pesantren ini adalah bersistem salaf. Yang dimaksud pesantren salaf yaitu pesantren yang kurikulumnya murni mengajarkan bidang studi ilmu agama saja, baik melalui sistem Madrasah Diniyah maupun pengajian sorogan dan bandongan. Di pesantren salaf, tidak ada pendidikan formalnya. Penggunaan kata salafi untuk pesantren hanya terjadi di Indonesia. Tetapi pesantren salafi cenderung digunakan untuk menyebut pesantren yang tidak menggunakan kurikulum modern, baik yang berasal dari pemerintah ataupun hasil inovasi ulama sekarang.

Kata salaf atau salafiyah itu sendiri diambil dari nomenklatur Arab salafiyun untuk sebutan sekelompok umat Islam yang ingin kembali kepada ajaran Al-Quran dan As-Sunnah sebagaimana praktik kehidupan generasi pertama Islam. Pada waktu itu umat Islam sedang mengalami perpecahan dalam bentuk golongan mazhab tauhid hingga beberapa kelompok. Kelompok salafiyun ini mengaku lepas dari semua kelompok itu dan mengajak semua yang telah terkelompok-kelompok menyatu kembali kepada ajaran AlQur’an dan Assunnah. Penggunaan kata salaf juga dipakai untuk antonim kata salaf versus khalaf. Ungkapan ini dipakai untuk membedakan antara ulama salaf (tradisional) dan ulama khalaf (modern). Pengertian Tradisional menunjukkan bahwa lembaga ini hidup sejak ratusan tahun (300-400 tahun) yang lalu dan telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia yang merupakan golongan mayoritas bangsa Indonesia dan telah mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan umat dalam arti tetap tanpa mengalami penyesuaian.

Pesantren salafi pada umumnya dikenal dengan pesantren yang tidak menyelenggarakan pendidikan formal semacam madrasah ataupun sekolah. Kalaupun menyelenggarakan pendidikan keagaman dengan sistem berkelas kurikulumnya berbeda dari kurikulum model sekolah ataupun madrasah pada umumnya. Pesantren salafi sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia memiliki tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi keilmuan yang ada pada lembaga pendidikan Islam lainnya, seperti madrasah. Salah satu ciri utama pesantren yang membedakan dengan lembaga pendidikan Islam lainnya adalah adanya pengajaran kitab-kitab klasik (kitab kuning) sebagai kurikulumnya. Kitab kuning dapat dikatakan menempati posisi yang istimewa dalam tubuh kurikulum di pesantren. Karena keberadaannya menjadi unsur utama dalam diri pesantren, maka sekaligus sebagai ciri pembeda pesantren dari pendidikan Islam lainnya.

Keseluruhan kitab kuning yang diajarkan (kurikulum pesantren) di berbagai pesantren dapat dikelompokkan dalam delapan bidang kajian, yaitu nahwu dan saraf (gramatika dan morfologi), fikih, usul fikih, tasawuf, etika, tafsir, hadis, tauhid, dan cabang-cabang ilmu lainnya seperti tarikh (sejarah) dan balagah (sastra). Di samping itu, kitab-kitab kuning yang beredar di pesantren-pesantren dapat juga digolongkan ke dalam tiga tingkat, yaitu kitab dasar, kitab tigkat menengah, dan kitab besar, yang dalam pengajarannya pun disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan kelasnya.

Pesantren dan kitab kuning adalah dua sisi yang tak terpisahkan dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Sejak sejarah awal berdirinya, pesantren tidak dapat dipisahkan dari literatur kitab buah pemikiran para ulama salaf yang dimulai sekitar abad ke-9 itu. Bahkan bisa dikatakan, tanpa keberadaan dan pengajaran kitab kuning, suatu lembaga pendidikan pesantren kurang absah disebut pesantren.

Begitulah fakta yang terjadi di lapangan. Kenyataan yang nampak sejak lahirnya pesantren salafi sampai saat ini masih tetap menjadikan kitab kuning sebagai kurikulum dalam menjalankan sistem pembelajaran sebagai bagian dari pendidikan. Hal tersebut dipertegas oleh Abdurrahman Wahid dalam buku Pergulatan Dunia Pesantren karya M. Dawam Rahardjo, konteks ini meneguhkan bahwa kitab kuning telah menjadi salah satu sistem nilai dalam kehidupan pesantren.

Adapun di era sekarang ini, kebanyakan pesantren telah memasukkan pengetahuan umum dan tidak hanya mempelajari kitab-kitab Islam klasik semata. Meskipun demikian, pengajaran kitab klasik tetap menjadi fokus utama. Pada umumnya, pelajaran kitab-kitan Islam klasik itu dimulai dari yang paling sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam. Sebuah pesantren dapat diketahui kualitasnya dari kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan. Seiring dengan perubahan teknologi, sistem pendidikan pesantren mengalami pergeseran-pergeseran baik dari kelembagaan pesantren, metodologi sampai pola hidup. Namun demikian, pesantren salafi  sampai saat ini masih tetap bertahan dan eksis dengan pola lamanya tanpa  mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi saat ini. Salah satu aspek yang menarik dari fenomena pesantren salafi adalah kurikulumnya. Sebagaimana sudah diindikasikan sebelumnya, terdapat diskusi yang cukup intens berkenaan dengan kurikulum yang diajarkan di pesantren salafi. Kurikulum yang diajarkan di setiap pesantren salafi berbeda dengan pesantren salafi lainya, hal ini disesuaikan dengan kemampuan dan keilmuan yang dikuasai oleh kiai.

Sistem pendidikan di pesantren salafi tidak jauh berbeda dengan sistem pendidikan di Dayah, yakni para santri duduk membentuk lingkaran dan kiai menerangkan pelajaran. Dalam mengajarkan kitab-kitab klasik tersebut, seorang kiai menggunakan metode wetonan dan bandonga. Adapun metode wetonan dan bandongan yaitu metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk mengelilingi kiai. Kiai membacakan kitab yang sedang dipelajari saat itu, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan. Kitab-kitab yang dipelajari itu diklasifikasikan berdasarkan tingkatan-tingkatan. Ada tingkatan awal, menengah dan atas.

Seorang santri pemula terlebih dahulu mempelajari kitab-kitab awal barulah kemudian diperkenankan mempelajari kitab-kitab tingkat berikutnya. Karena itulah, pesantren salafi tidak mengenal sistem kelas. Kemampuan santri tidak dilihat dari kelas berapa, tetapi dilihat dari kitab apa yang telah mampu dibacanya. Bahasa yang digunakan dalam mengajarkan materi pelajaran adalah bahasa daerah sesuai tempat kiai tersebut tinggal, sehingga diharuskan bagi para santri untuk menguasai bahasa yang digunakan. Inti dari pesantren adalah pendidikan ilmu agama dan sikap beragama, karenanya mata pelajaran yang diajarkan semata-mata pelajaran agama. Pada tingkat dasar anak didik baru diperkenalkan tentang dasar agama, dan AlQur’an al-Karim. Setelah berlangsung beberapa lama pada saat anak didik memiliki kecerdasan tertentu, maka mulailah diajarkan kitab-kitab klasik (kitab kuning).  Pondok pesantren salafi memiliki prinsip-prinsip atau nilai yang membedakan dengan lembaga pendidikan lainnya, yaitu:
  1. Filsafat pendidikan teosentris, yakni suatu pandangan yang menyatakan bahwa semua kejadian, proses dan kembali pada kebenaran Tuhan
  2. Kesukarelaan (keikhlasan) dan pengabdian
  3. Kearifan hidup
  4. Kesederhanaan
  5. Kolektivitas
  6. Organisasi atau mengatur kegiatan bersama
  7. Kemandirian

Dari berbagai historisasi sejarah pendidikan Islam yang ada bagaimanapun juga pondok pesantren salafi adalah sebuah sistem yang khas. Tidak hanya dalam pendekatan pembelajarannya, tetapi juga dalam pandangan hidup dan tata nilai yang dianut, cara hidup yang ditempuh, struktur pembagian kewenangan, dan semua aspek-aspek kependidikan dan kemasyarakatan lainnya. Oleh sebab itu, tidak ada definisi yang dapat secara tepat mewakili seluruh pondok pesantren yang ada. Masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri. Meskipun demikian dalam hal-hal tertentu pondok pesantren memiliki persamaan-persamaan. Persamaaan inilah yang lazim disebut sebagai ciri pondok pesantren, dan selama ini dianggap dapat mengimplikasi pondok pesantren secara kelembagaan.

Materi yang diajarkan di pondok pesantren terdiri dari materi agama yang langsung digali dari kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Dengan sistem yang dinamakan pesantren, proses internalisasi ajaran Islam kepada santri bisa berjalan penuh, baik dengan pimpinan dan keteladanan para kiai atau pengelolaan yang khas akan tercipta suatu komunikasi tersendiri. Di dalam sistem pengelolaan tersebut terdapat semua aspek kehidupan.  Kurikulum yang digunakan pondok pesantren salafi tidak sama dengan kurikulum yang dipergunakan lembaga pendidikan formal, bahkan antara satu pondok pesantren dengan pondok pesantren lainnya.

Pada umumnya kurikulum pondok pesantren salafi yang menjadi arah tertentu (manhaj), diwujudkan dalam bentuk penetapan kitab-kitab tertentu sesuai dengan tingkatan ilmu pengetahuan santri. Sebenarnya model pembelajaran yang diberikan oleh pesantren kepada santrinya sejalan dengan salah satu prinsip pembelajaran modern, yang dikenal dengan pendekatan belajar tuntas (mastery learning), yaitu dengan mempelajari sampai tuntas kitab pegangan yang dijadikan rujukan utama untuk masing-masing bidang ilmu yang berbeda. Akhir pembelajaran dilakukan berdasarkan tamatnya kitab yang dipelajari.

Pesantren salafi telah memperoleh penyetaraan melalui SKB 2 Menteri (Menag dan Mendiknas) No: 1/U/KB/2000 dan No. MA/86/2000, tertanggal 30 Maret 2000 yang memberi kesempatan kepada pesantren salafi untuk ikut menyelenggarakan pendidikan dasar sebagai upaya mempercepat pelaksanaan program wajib belajar dengan persyaratan tambahan mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA dalam kurikulumnya. Dengan demikian SKB ini memiliki implikasi yang sangat besar untuk mempertahankan eksistensi pendidikan pesantren.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren salafi adalah lembaga pendidikan yang masih sederhana baik dari fisik bangunan maupun kurikulum. Ditinjau dari segi fisik bangunan merupakan lembaga pendidikan Islam yang masih bersifat sederhana dimana rumah kiai dan masjid merupakan tempat transformasi ilmu pengetahuan. Sedangkan jika ditinjau dari segi kurikulum yang diajarkan hanya ilmu-ilmu agama melalui bandongan dan sorogan yang bertujuan memperdalam ilmu agama.

b. Pesantren Khalafi
Pesantren Khalafi adalah pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasah), memberikan ilmu umum dan ilmu agama, serta memberikan pendidikan keterampilan. Sedangkan mengenai arti pesantren khalafiyah (modern) yaitu pesantren yang mengadopsi sistem madrasah atau sekolah dan memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum seperti MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA/SMK dan bahkan PT dalam lingkungannya.

Dengan demikian pesantren modern merupakan pendidikan pesantren yang diperbaharui atas pesantren salaf, sebagai institusi pendidikan asli Indonesia yang lebih tua dari Indonesia itu sendiri, adalah “legenda hidup” yang masih eksis hingga hari ini. Pondok pesantren ini merupakan pengembangan tipe pesantren salaf karena orientasi belajarnya cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar secara klasik dan meninggalkan sistem belajar tradisional.

Penerapan sistem belajar modern ini terutama nampak pada penggunaan kelas-kelas belajar baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum madrasah atau sekolah yang berlaku secara Nasional. Santrinya ada yang menetap dan ada pula yang tersebar di sekitar desa tempat pesantren khalafi tersebut. Kedudukan para kiai sebagai koordinator pelaksana proses belajar mengajar dan sebagai pengajar langsung di kelas.

Figur kiai tidak lagi menjadi sentral setiap keputusan, setiap perkara yang menyangkut dengan pesantren harus di putuskan berdasarkan rapat antara para asatidz (staff pengajar) dengan yayasan. Peserta didik atau santri juga harus membayar uang pendidikan, sistem belajar yang demokratis dan setiap santri yang sudah menyelesaikan studinya akan mendapatkan ijazah sebagai tanda kelulusan, ijazah ini bisa di gunakan sebagai salah satu syarat seandainya santri berniat melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.

Perbedaannya dengan madrasah dan sekolah terletak pada porsi pendidikan agama dan bahasa Arab lebih menonjol sebagai kurikulum lokal.
Adapun pesantren khalafi bercirikan:
  1. Memiliki manajemen dan adminitrasi dengan standar modern
  2. Tidak terikat dengan figur kiai sebagai tokoh sentral
  3. Pola dan sistem pendidikan modern dengan kurikulum tidak hanya ilmu agama tetapi juga pengetahuan umum
  4. Sarana dan bentuk bangunan pesantren lebih mapan, teratur dan berpagar

Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan itu bisa dilihat di pesantren modern dengan mulai akrabnya metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa pesantren khalaf atau modern dapat diartikan sebagai pesantren yang berusaha menyeimbangkan pendidikan agama dengan pendidikan umum, metode yang digunakan tidak lagi seperti dulu, materi yang diajarkan juga lebih banyak dibanding pesantren salaf. Selain mengajarkan pendidikan agama Islam pesantren ini juga mengajarkan ilmu-ilmu umum dan juga bahasa-bahasa asing yang dilakukan guna menghadapi perkembangan zaman yang semakin canggih seperti sekarang ini. Dan didirikan pula sekolah-sekolah diberbagai tingkat sebagai sarana prasarana sebagai penunjang dalam sistem pembelajaran mereka.

D. Tujuan Pondok Pesantren
Tujuan pesantren pada dasarnya adalah lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan banyak ilmu-ilmu agama yang bertujuan membentuk manusia bertaqwa, mampu untuk hidup mandiri, ikhlas dalam melakukan suatu perbuatan, berijtihad membela kebenaran Islam, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti Sunnah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas, dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.

Hingga sekarang, pesantren pada umumnya bertujuan untuk mengajarkan agama Islam dan mencetak pribadi muslim yang kaffah dalam melaksanakan ajaran agama Islam secara konsisten di kehidupan sehari-hari. Lahirnya sosok manusia yang paham akan jati dirinya sebagai manusia (khalifah fii al-ardl) yang sekaligus sebagai ‘abd Allah.  Sedangkan tujuan pesantren secara khusus sangat tergantung pada pengasuh pesantrennya, seperti mencetak para penghafal (huffaz) Al-Qur’an, mencetak ahli fikih (fuqaha’), mencetak ahli bahasa Arab (nahw wa sharf) dan lain-lain. 

Kiai Ali Ma'shum menganggap bahwa tujuan pesantren adalah untuk mencetak ulama.  Selain itu juga tujuannya didirikan pondok pesantren pada dasarnya terbagi dua hal:
  • Tujuan khusus, yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.
  • Tujuan umum yaitu membimbing anak didik menjadi manusia berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi muballigh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan pesantren yang pertama dan utama adalah pembentukan keyakinan kepada Allah yang diharapkan dapat melandasi sikap, tingkah laku dan kepribadian peserta didik. Iman merupakan dasar dan realisasi dari ihsan, konsekuensi dari iman, Islam dan ihsan adalah takwa. Karena itu, tujuan pesantren adalah mengembangkan kepribadian muslim yang memahami agama (tafaqquh fi ad-din), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam pendirian, menyebarkan agama dan membentuk moralitas umat melalui pendidikannya.

Melihat dari tujuan tersebut, jelas sekali bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berusaha menciptakan kader-kader muballigh yang diharapakan dapat meneruskan misinya dalam dakwah Islam, di samping itu juga diharapakan bahwa mereka yang berstudi di pesantren menguasai betul akan ilmu-ilmu keisalaman yang diajarkan oleh para kiai. (https://penjelasani.blogspot.com/2019/11/sejarah-munculnya-pondok-pesantren-di-nusantara.html)

Sumber rujukan
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3S, Jakarta, 1983, hlm.18
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 5
Sudjono Prasodjo, Profil Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1982), hlm. 6.
Hielmy, Irfan. Wancana Islam (ciamis:Pusat Informasi Pesantren,2000), hal. 120

1 Komentar untuk "Sejarah berdirinya Pondok Pesantren"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel