Revolusi Mental: Implementasi Pilar Nilai Dan Karakter Demi Mewujudkan Generasi Z Pancasilais Yang Unggul, Kompetitif, Dan Kritis

Revolusi Mental: Implementasi Pilar Nilai Dan Karakter Demi Mewujudkan Generasi Z Pancasilais Yang Unggul, Kompetitif, Dan Kritis

Revolusi Mental


Untuk mengawali pokok pembahasan tentang nilai dan karakter yang amat kompleks, alangkah bagusnya kita mengenang kembali ungkapan penuh makna dari Plato, seorang filsuf Yunani pada 428-347 SM yang kira-kira berbunyi: Pendidikan membuat orang menjadi lebih baik dan orang baik tentu berperilaku mulia (Mu'in, 2011). Dari ungkapan tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan tonggak awal dalam pemenuhan suatu nilai dan karakter dari masyarakat. Umumnya pendidikan kerap kali diidentikkan dengan pendidikan yang biasa kita terima di bangku sekolah. Padahal, pendidikan itu sendiri memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi, karena pendidikan itu sendiri memuat berbagai sub-bidang yang relevan dengan pengembangan diri setiap manusia, salah satunya adalah pendidikan karakter yang belakangan ini sering dikaitkan dengan gerakan revolusi mental dan pengembangan nilai dan karakter.

Pengembangan nilai dan karakter juga dapat pula mencakup banyak hal apabila dipandang dari berbagai aspek. Menurut Ryan dan Bohlin, karakter dapat didefinisikan menjadi tiga unsur pokok, yaitu: mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Hasyim, 2015). Dari sini dapat ditarik benang merah bahwa kunci utama untuk mengembangkan karakter, manusia haruslah mengetahui dan mencintai segala bentuk kebaikan itu sendiri, yang memiliki makna manusia tersebut menerapkan segala bentuk kebaikan tersebut ke dalam kehidupan bermasyarakat yang berujung pada revolusi mental atau perubahan besar-besaran dalam aspek mental suatu masyarakat.

Berbicara tentang revolusi mental yang dulunya pernah dijadikan slogan salah satu paslon dalam pemilu, dewasa ini masyarakat seakan-akan telah kehilangan hasrat untuk mengubah total segala segmen karakteristik mereka dan memilih untuk pura-pura tak acuh (bahkan saat paslon tersebut terpilih). Padahal, dasar berdirinya negara Indonesia sesungguhnya berlandaskan pancasila yang memiliki pilar-pilar nilai dan karakter khas yang disesuaikan dengan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, banyak di antara masyarakat, termasuk generasi Z, seakan menutup mata terhadap konsep pancasilais  Indonesia.  Inilah  yang  seharusnya  dijadikan  sorotan  besar  di  negeri  ini:  minimnya penerapan pilar nilai dan karakter yang berlandaskan pancasilais terhadap masyarakat, terutama generasi Z.

Melihat betapa seringnya generasi Z mengakses internet, terutama di masa pandemi yang semua kegiatannya berubah wujud menjadi pertemuan virtual, maka tentu saja ini sangat berdampak pada kehidupan  sehari-hari  generasi  Z,  khususnya  pada  bidang  kehidupan  sosial.  Generasi  Z  dapat dengan mudah berjumpa dengan orang asing di sosial media, salah satunya melalui fitur anonymous chat. Ini dapat dikatakan bahwa sangatlah mudah bagi generasi Z untuk mendapat relasi baru kapan pun dan di mana pun. Karena munculnya fenomena sosial inilah tentu dapat mengubah aspek moral dan karakter pada generasi Z, baik yang berdampak secara langsung maupun laten.

Pada dasarnya, generasi Z adalah generasi yang memiliki fleksibelitas dalam bidang teknologi. Ini tentu berpengaruh pada kepribadian mereka. Dari segi karakteristik, generasi Z sangat suka bersosialisasi bahkan dengan orang asing, mandiri, mahir multitasking, dan menyukai hal-hal instan dan praktis. Dengan berbagai keunggulan di atas, maka sudah sepantasnya generasi Z turut mengombinasikan asas-asas moral nilai dan karakter yang terkandung dalam pancasila sebagai karakteristik khas dari bangsa Indonesia ke dalam kehidupan sehari-hari demi mewujudkan generasi emas pada hari lahir Indonesia yang ke-100 tahun.

Konsep Pilar Nilai dan Karakter

Apabila ditelisik lebih jauh, konsep pilar nilai dan karakter selalu bermuara pada bentuk konservasi. Nilai dan karakter sendiri memiliki pengertian yang berbeda-beda, tergantung dari aspek mana kita memandangnya. Nilai adalah suatu hal yang berguna bagi asas kemanusiaan. Selain itu, Kamus Besar  Bahasa  Indonesia  mendefinisikan  nilai  sebagai  sesuatu  yang  menyempurnakan  manusia sesuai dengan fitrah yang telah dibawanya sejak lahir. Kamus Besar Bahasa Indonesia juga mengatakan bahwa pilar karakter adalah perilaku kejiwaan atau nalar yang menjadi ciri khas dari suatu individu atau suatu kelompok.

Suatu nilai dan karakter dapat menjadi lebih kompleks apabila kedua pilar ini melibatkan suatu karakteristik seseorang atau suatu kelompok. Umumnya, nilai dan karakter dapat berasal dari dalam suatu individu secara alamiah atau dari luar suatu individu. Ini dapat dibuktikan bahwa mudahnya suatu individu terpengaruh oleh nilai dan karakter lingkungan tempat ia tinggal, entah berdampak positif maupun negatif. Menurut konsep konservasi di Universitas Negeri Semarang, suatu nilai dan karakter dapat mencakup berbagai karakteristik, seperti: inspiratif, humanis, peduli, inovatif, sportif, kreatif, jujur, dan adil (Retnoningsih, Konservasi Berkelanjutan Kampus UNNES 2020, 2020). Dengan demikian, suatu individu atau kelompok diharapkan memiliki semua bentuk spesifikasi nilai dan karakter tersebut untuk diterapkan ke dalam kehidupan bermasyarakat.

Akan tetapi, yang menjadi fenomena sosial di masyarakat akhir-akhir ini adalah betapa banyaknya generasi Z yang sudah tidak lagi menerapkan bentuk turunan dari pilar nilai dan karakter seperti yang disebutkan di atas. Hidup berdampingan dengan teknologi dan hampir setiap saat mengakses internet dapat membuat generasi  Z seakan-akan buta atau bahkan cenderung tidak peduli lagi dengan butir-butir pilar nilai dan karakter. Perkembangan nilai dan karakter generasi Z di Indonesia rata-rata stagnan dan bahkan kurang memiliki daya nalar kritis. Inilah yang patut dipermasalahkan oleh para pegiat anak-anak muda, yaitu menumbuhkan daya nalar kritis generasi Z dan tidak asal bicara tanpa adanya kebenaran terkait.

Masalah lainnya yang cukup krusial bagi pilar nilai dan karakter adalah aspek kejujuran di antara generasi Z. Mayoritas generasi Z masih mengenyam pendidikan di sekolah. Mereka seringkali bersikap abai dan tidak acuh dengan integritas akademik di kehidupan sekolah mereka. Menurut Dr. Tracey Bretag, integritas akademik adalah suatu tindakan yang didasarkan pada nilai kepercayaan, keadilan, menghargai, tanggung jawab, rendah hati, dan kejujuran itu sendiri  (Taryana, 2015). Berawal dari ketidakpedulian inilah  yang memicu berbagai bentuk kecurangan akademik  yang dulunya sempat digalakkan oleh civitas academica di berbagai instansi pendidikan. Namun, seperti biasa, persoalan kecurangan akademik hanyalah soal “sepele” yang dengan cepat dilupakan. Generasi Z dengan enteng melakukan kecurangan akademik seakan-akan itu adalah tindakan yang wajar. Berakar dari masalah ini maka sudah sepatutnya generasi Z mengembalikan kemurnian integritas akademik mereka dengan penerapan kejujuran akademik di setiap segmen pendidikan.

Konsep Pancasilais dan Implementasinya

Sejak digagas  oleh salah  satu  proklamator  pada tanggal  1  Juni  1945, pancasila telah  menjadi pondasi terpenting dalam menjalankan berbagai aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Selain itu, pancasila juga sebagai identitas pembeda antara Indonesia dengan negara-negara lainnya, karena setiap butir dari pancasila telah ditelaah dan dipadukan dengan karakteristik masyarakat 

Indonesia. Dalam hal inilah maka amatlah penting untuk mengenalkan setiap pilar pancasila pada anak-anak sejak usia dini, ini dibuktikan dengan adanya subbab materi tentang pancasila sejak jenjang taman kanak-kanak, meski pengenalannya tidak sekompleks   pada jenjang sekolah dasar dan jenjang sekolah lanjutan.

Seiring berjalannya waktu, mulai muncul istilah pancasilais sebagai bentuk penerapan di setiap lima butir silanya. Masyarakat juga mulai mengelukan slogan “Saya Pancasilais”, yang mana ungkapan kreatif ini menurut Untung Yuwono (seorang pakar bahasa Indonesia dari Universitas Indonesia) dapat merujuk kepada makna “bersifat atau berperilaku sesuai dengan pancasila” (Evani & Anselmus, 2017). Ungkapan pancasilais ini amatlah melekat pada jati diri masyarakat Indonesia terhadap ideologi negara mereka. Masyarakat yang dengan senang hati menerapkan setiap lima butir pancasila dapat dikatakan bahwa masyarakat tersebut telah menjadikan pancasila sebagai falsafah hidup dan berwawasan nusantara secara keseluruhan.

Namun,  pada  kenyataannya,  mayoritas  generasi  Z  menilai  bahwa  prinsip  “saya  pancasilais” hanyalah sebatas slogan saja atau bahkan menganggap pancasila sebagai dasar negara saja. Mereka berasumsi bahwa sangatlah sulit untuk menerapkan kelima butir pancasila, dan memilih untuk bersikap  apatis.  Padahal,  dalam  ranah  pancasila  dan  segala  aspeknya,  amatlah  penting  untuk bersikap idealis karena ini berkaitan erat dengan prinsip dan falsafah hidup masyarakat Indonesia, mengingat pancasila dirancang khusus berdasarkan karakteristik masyarakat Indonesia itu sendiri. Dengan mengetahui bahwa pancasila seharusnya menjadi falsafah hidup setiap warga negara Indonesia, maka sudah sepatutnya generasi Z mengaplikasikan kelima sila pancasila ke setiap sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Antara Revolusi Mental, Nilai dan Karakter, serta Pancasila

Pada hakikatnya, pemahaman dari pilar nilai dan karakter amatlah identik dengan kelima sila dalam pancasila. Pilar nilai dan karakter apabila dikombinasikan dengan identitas jati diri masyarakat Indonesia akan berbuah pada kelima sila dalam pancasila. Menurut Dr. Muhammad Khafid, M.Si, setidaknya ada 11 nilai-nilai karakter yang bermuara pada konservasi, yaitu: religius, jujur, cerdas, adil, tanggung jawab, peduli, toleran, demokratis, cinta tanah air, tangguh, dan santun (Setioningsih, 2015). Apabila kita menengok kelima sila pancasila, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ke sebelas nilai-nilai karakter konservasi yang disebutkan telah terangkum dalam semua aspek pancasila.

Dalam  kaitannya  dengan  revolusi  mental,  terdapat  benang  merah  yang  ditemukan  ketika mengetahui hubungan pilar nilai dan karakter dengan pancasila. Pada hakikatnya, antara revolusi mental, nilai dan karakter, dan pancasila memiliki suatu kesatuan yang padu. Ketika suatu masyarakat sedang membicarakan revolusi mental, mereka pasti akan mengarah pada nilai dan karakter suatu golongan tertentu, yang pada akhirnya akan kembali bermuara pada ideologi pancasilais. Maka, dapat ditarik garis besar bahwa ketiga aspek krusial yang disebutkan ini tak dapat dipisahkan dan tak dapat pula berdiri sendiri, mengingat ketiganya saling beketerkaitan satu sama lain.

Ketika sebuah gerakan “revolusi mental” ini tercetuskan, ini dapat dimaknai sebagai perubahan pola pikir masyarakat secara besar-besaran kesebelas nilai-nilai karakter konservasi menuju ke arah yang lebih jauh dalam konteks bernalar, berperilaku, dan bertindak. Akan tetapi, pada kenyataannya, generasi Z memiliki perubahan nol besar terhadap revolusi mental yang dimaksud. Mereka hanya berkoar-koar soal “revolusi mental”, “saya pancasilais”, “saya Indonesia” ketika suatu momen bela negara sedang hangat-hangatnya dibicarakan, tanpa adanya konkrit nyata dalam kehidupan sehari- hari. Ini semakin membuka mata penulis bahwa Indonesia sedang mengalami krisis moral dan berpikir cerdas, di mana generasi Z cenderung menelan mentah-mentah suatu berita hasutan dan provokasi. Tak hanya generasi Z saja, mayoritas masyarakat Indonesia menyerap semuanya seperti spons—nyaris tanpa filter, tanpa berpikir lebih jauh untuk mengecek kebenarannya. Fakta menariknya, masyarakat Indonesia yang majemuk ini memiliki sisi dualisme yang amat kontras. Warga Indonesia amat dikenal sebagai masyarakat teramah, akan tetapi, warganet (warga internet) Indonesia juga baru-baru ini dikenal sebagai netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara.  Ini adalah salah satu bentuk ketimpangan pilar nilai dan karakter sekaligus bukti bahwa moralitas masyarakat Indonesia sungguh menyedihkan.

Merevolusi Mental melalui Realisasi Nilai dan Karakter dalam Pancasila

Berbicara tentang revolusi mental, pastilah erat kaitannya dengan pembangunan karakter. Pembangunan karakter pada masing-masing masyarakat dapat diwujudkan dengan realisasi nilai dan karakter pancasila. Mungkin bagi sebagian kalangan tertentu, revolusi mental memanglah salah satu hal yang bisa dikatakan sepele, tetapi apabila direalisasikan secara bijak dan konsisten, maka ini akan membawa dampak yang spektakuler pada kemajuan moralitas masyarakat Indonesia sesuai dengan identitas aslinya. Apalagi bila ditinjau lebih jauh, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang cukup religius, yang berarti semua ajaran agamanya pastilah mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan dalam diri manusia.

Sejujurnya, bentuk konservasi pilar nilai dan karakter amatlah bertalian erat dengan pancasila, sehingga kita tak perlu untuk menyatukan kedua prinsip ini. Namun, ketika kita melihat ke dalam realita tentang betapa minimnya masyarakat, terutama generasi Z, yang berpancasilais di kehidupan bermasyarakat; sehingga meningkatkan disiplin guna mengembalikan kemurnian setiap nilai dan karakter dalam setiap butir pancasila jelas sekali urgensinya.

Langkah-langkah yang harus diambil oleh generasi Z untuk membumikan moralitas pancasila dapat dimulai dengan sesuatu yang amat mudah tetapi tentu memerlukan sebuah tekad dan kontinuitas dalam menerapkannya. Pandanglah di mana kedudukan kita dalam masyarakat. Mengingat generasi Z adalah generasi yang lahir pada rentang tahun 1996-2011, maka mayoritas dari generasi Z masih mengenyam bangku pendidikan. Bentuk konkrit yang dapat diterapkan generasi Z dalam upaya memurnikan moralitas pancasila dapat dipaparkan sebagai berikut:

Pertama, generasi Z haruslah menerapkan nilai dan karakter religius dan toleran yang dalam hal ini amatlah sesuai dengan sila pertama dalam pancasila. Indonesia telah mewajibkan semua warga negaranya untuk memeluk salah satu dari enam agama yang telah diakui sebelumnya. Hargai dan hormatilah kaum minoritas dengan tidak memaksa mereka untuk melampaui batas-batas agama mereka, karena sejatinya kaum minoritas masih saja terkungkung dalam batas yang telah ditetapkan oleh kaum mayoritas. Ingatlah selalu semboyan negara yang mengagungkan persatuan di atas panji- panji perbedaan yang begitu kompleks. Dengan demikian, sudah jelaslah bahwa masyarakat Indonesia majemuk yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan terutama agama haruslah membina kerukunan antarumat demi terciptanya penerapan nilai dan karakter terkait yang tentunya selaras dengan butir pertama dalam pancasila.

Kedua, generasi Z dapat mulai mengimplementasikan nilai dan karakter jujur dan cerdas yang sesuai dengan sila kedua dalam pancasila. Mulailah menerapkan integritas akadamik sebagai pelajar dengan memberlakukan kejujuran akademik. Dalam upaya untuk membangun karakteristik cerdas, senantiasa  untuk  bersikap  cermat  dan  waspada  terhadap  suatu  berita  yang  mencurigakan.  Bersikaplah  kritis  terhadap  berbagai  fenomena  yang terjadi.  Selalu  gunakan  sisi  ilmiah  dalam menganalisis masalah agar tidak berpotensi untuk bersikap radikal. Bukalah wawasan dari aspek sudut pandang mana pun. Carilah celah dan pembuktian terkait.

Ketiga, generasi Z harus senantiasa untuk membumikan nilai dan karakter cinta tanah air dan tangguh yang sesuai dengan sila ketiga dalam pancasila. Dengan kemajuan teknologi dan industri yang semakin pesat ini, generasi Z dapat memanfaatkannya sebagai motivasi dalam rangka untuk memajukan teknologi dan industri bangsa. Sekarang ini, sudah banyak generasi Z yang berprestasi dalam kancah domestik maupun kancah internasional. Artinya, mayoritas generasi Z saat ini telah sadar diri akan beberapa hal yang menjadi pekerjaan rumah negaranya, sehingga mereka semakin memacu diri untuk senantiasa berkembang bersama demi masa depan bangsa yang lebih baik.

Keempat,  generasi  Z  haruslah  tumbuh  sebagai  generasi  yang  demokratis  dan  peduli  terhadap sesama, yang dalam hal ini amatlah erat kaitannya dengan sila keempat dalam pancasila. Dengan diterapkan sistem negara yang menganut aliran demokrasi pancasila, maka sudahlah tentu bahwa masyarakat  Indonesia  yang  bersifat  heterogen  dan  multikultural  diharapkan  bersikap  peduli terhadap sesama warga Indonesia, tanpa memandang dari segala aspek. Selain itu, penerapan demokrasi pancasila di kehidupan bernegara hendaklah dijalankan secara ideal dengan melegitimasikan aspirasi rakyat. Dengan demikian, harmoni dan stabilitas politik Indonesia dalam berdemokrasi pancasila dapat diraih.

Kelima, generasi Z yang juga menjadi bagian dari masyarakat Indonesia harus mulai merealisasikan bentuk keadilan dan tanggung jawab sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing, yang tentu saja mengacu pada sila kelima dalam pancasila. Apabila suatu saat kita terbentur masalah, hadapi dan pertimbangkan berbagai solusi tersebut. Mulailah untuk berani bertanggung jawab terhadap hal- hal sepele sekali pun, sepanjang hal tersebut memiliki keterlibatan, dan tak lupa berani menanggung risiko dengan segala keputusan yang telah diambil. Dengan menerapkan pilar karakter adil dan tanggung jawab, maka jelaslah generasi Z sebagai pelita keadilan bagi bangsa Indonesia untuk beberapa tahun ke depan.

Melihat dari berbagai kemelut nilai dan karakter yang mewabah di Indonesia, maka dapat ditarik garis besar bahwa mutu pembangunan dan pendidikan karakter di Indonesia perlu ditingkatkan dan dikaji ulang. Salah satu solusi guna mengatasi permasalahan kronis nilai dan karakter masyarakat Indonesia adalah dengan membumikan kelima sila dalam pancasila. Dengan demikian, pancasila sebagai dasar negara tidak hanya diterapkan dalam kehidupan bernegara saja, tetapi juga turut dilaksanakan  sebagai  pedoman  hidup  bermasyarakat  dengan  mengombinasikan  kelima  sila pancasila dan pilar nilai serta karakter sebagai bentuk revolusi dan konservasi mental demi membawa generasi Z sebagai generasi emas Indonesia pada tahun 2045. 

DAFTAR PUSTAKA

Evani,  S.  F.,  &  Anselmus,  B.  (2017,  Juni  2).  Dipetik  Mei  15,  2021,  dari  Berita  Satu:

https://www.beritasatu.com/archive/434291/saya-pancasila-atau-saya-pancasilais


Hasyim,  M.  (2015).  Konsep  Pendidikan  Karakter  Perspektif  Umar  Baradja  Dan  Relevansinya

Dengan Pendidikan Nasional. Cendekia: Jurnal Studi Keislaman, 153.

Mu'in, F. (2011). Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik & Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Retnoningsih, A. (2020). Konservasi Berkelanjutan Kampus UNNES 2020. Dipetik Mei 17, 2021,

dari    Bangvasi    UNNES:     http://www.konservasi.unnes.ac.id/konservasi-berkelanjutan- kampus-unnes-2020.pdf

Setioningsih,    D.    (2015,    November    19).    Dipetik    Mei    6,    2021,    dari    Blog    Unnes:

http://blog.unnes.ac.id/devisetioningsih/2015/11/19/nilai-karakter-dan-perilaku-konservasi/

Taryana, U. (2015). Menengok Pudarnya Pesona Academic Honesty. Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia.

By: Mutiarizki Hapsari

Belum ada Komentar untuk "Revolusi Mental: Implementasi Pilar Nilai Dan Karakter Demi Mewujudkan Generasi Z Pancasilais Yang Unggul, Kompetitif, Dan Kritis"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel