FENOMENA KELANGKAAN MINYAK GORENG DI INDONESIA
FENOMENA KELANGKAAN MINYAK GORENG DI INDONESIA
Menurut keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, minyak goreng bagi masyarakat Indonesia merupakan salah satu kebutuhan pokok atau salah satu Sembako (sembilan bahan pokok) yang dibutuhkan oleh seluruh lapisan masyarakat dan cukup penting peranannya bagi masyarakat Indonesia dan juga bagi perekonomian Indonesia. Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan sebagai bahan pangan. Minyak goreng digunakan sebagai kegiatan memasak, seperti menumis dan menggoreng, sebab minyak goreng dapat memberikan aroma yang sedap, cita rasa yang lebih lezat, gurih, membuat makanan menjadi renyah atau crispy, serta penampilan dan tekstur yang lebih menarik karena dapat memberikan warna keemasan dan kecoklatan daripada makanan yang dikukus, direbus atau dipanggang.Minyak goreng dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap suatu produk yang diproses menggunakan minyak nabati, terutama bagi industri makanan. Sesuai dari pengalaman selama ini, dapat terlihat bahwa kelangkaan minyak nabati dapat memberikan dampak ekonomi dan politik yang signifikan terhadap perekonomian nasional. Produksi minyak sawit harus dapat terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri kelapa sawit yang bahan baku utamanya adalah minyak sawit (Abidanish, 2010).
Per tanggal 19 Januari 2022 pukul 00.01 waktu setempat, telah diberlakukan kebijakan dari Menteri Perdagangan bahwa harga satu buah minyak goreng kemasan yaitu sebesar Rp 14.000,00/liter. Namun, kebijakan tersebut dinilai belum sepenuhnya efektif di pasar mengingat pedagang di pasar tradisional dan warung kecil belum mendapatkan informasi yang jelas mengenai mekanisme penggantian subsidi. Hal tersebut menyebabkan harga di luar ritel Kementerian Perdagangan (Kemendag) memberikan HET (Harga Eceran Tertinggi) pada komoditas minyak goreng, yakni hanya Rp 14.000 untuk minyak goreng kemasan dan Rp 11.000 untuk minyak goreng curah. Kebijakan tersebut mulai berlaku pada 1 Februari 2022. Warga langsung menyambut kebijakan tersebut dengan sangat antusias, terutama dari kalangan ibu-ibu dan pedagang yang membutuhkan minyak untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
Pada awal bulan Februari lalu, yakni pada minggu pertama, sebagian besar masyarakat tidak mendapatkan minyak goreng dengan harga murah baik di supermarket, minimarket, maupun toko biasa. Setiap orang yang ingin membeli minyak goreng bertanya pada kasir mengenai ke mana perginya semua minyak goreng murah tersebut, dan si kasir menjawab “Minyak goreng murahnya sudah habis”. Sama halnya dengan yang lain. Mungkin penyebabnya adalah masyarakat tidak dibatasi saat membeli minyak goreng murah, jadi per orang bisa saja membeli 6 liter atau lebih sesuai dengan kemampuan belinya. Saya yakin masyarakat melakukan panic buying untuk membeli dalam jumlah banyak dan menimbunnya agar tidak kehabisan. Minyak goreng yang selalu tersedia dan tidak pernah habis adalah minyak goreng kelas atas, seperti minyak goreng merk B*rco, Ikan Do*ang, dan lain sebagainya.
Pada minggu selanjutnya, minyak goreng murah pun mulai tersedia di toko-toko, namun pada kali ini dibatasi hanya 2 liter per orang dan melakukan minimum pembelian di toko tersebut. Minimum pembelian setiap toko pun berbeda, ada yang Rp 30.000, Rp 50.000, dan Rp 65.000, dan seterusnya. Jadi, untuk dapat membeli 1 liter minyak goreng saya harus mengeluarkan minimum Rp 44.000 dan maksimum Rp 79.000. Betapa ironisnya pembelian minyak goreng murah harus ada syarat lain yang mengaruskan berpikir lebih untuk sekedar membeli 1 liter minyak goreng murah.
Pada minggu ketiga, minyak goreng murah terasa sedikit langka dan tidak setiap hari stoknya tersedia. Entah ini karena masyarakat yang masih panic buying atau ada permainan para bandar yang mulai menimbun minyak goreng. Pada minggu keempat, minyak goreng murah terasa sangat langka dan toko-toko di mana pun selalu kehabisan stok minyak goreng murah. Saya merasa pasti ada yang aneh terhadap kelangkaan minyak goreng murah, dan benar saja, pada awal bulan Maret 2022 pemerintah mencabut kebijakan tersebut yang berimbas harga minyak goreng naik menjadi hampir 2 kali lipat, namun stoknya kembali melimpah. Bapak Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi sendiri menegaskan bahwa kita tidak boleh kalah dari permainan para bandar.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan lahan perkebunan kelapa sawit yang merupakan bahan baku dari minyak goreng. Dalam perekonomian makroekonomi Indonesia, industri minyak kelapa sawit memiliki peran yang sangat penting, antara lain sebagai penghasil devisa terbesar, kepala dari perekonomian nasional, kedaulatan energi, pendorong sektor ekonomi kerakyatan, serta penyerapan tenaga kerja. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkembang cepat, hal tersebut mencerminkan bahwa adanya revolusi perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkembang di 22 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia. Terdapat 2 pulau utama perkebunan kelapa sawit di Indonesia yaitu di Sumatera dan Kalimantan. Sekitar 90% dari perkebunan kelapa sawit di Indonesia berada di kedua pulau kelapa sawit tersebut, dan kedua pulau tersebut menghasilkan 95% produksi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) Indonesia.5 Hal tersebut membuat masyarakat heran, bagaimana bisa kita memiliki kelangkaan minyak goreng padahal negara kita ini memiliki lahan perkebunan kelapa sawit yang sangat luas.
Pentingnya penelitian konsumen untuk mengetahui sejauh mana kebutuhan konsumen dan juga bagaimana tanggapannya dengan penurunan harga dan langkah-langkahnya untuk mendapatkan minyak goreng yang membuat panic buying terhadap masyarakat. Penelitian dapat berfungsi sebagai basis untuk pendidikan dan perlindungan konsumen serta melengkapi informasi yang penting untuk keputusan kebijakan umum.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan bahwa pelepasan minyak goreng subsidi seharga Rp14.000 per liter seharusnya diikuti dengan kebijakan pembatasan pembelian, seiring dengan maraknya aksi borong atau panic buying yang dilakukan oleh konsumen.
Panic buying oleh konsumen merupakan bentuk kesalahan strategi pemasaran pemerintah dalam membuat kebijakan publik. Hal ini juga merupakan suatu kegagalan pemerintah dalam membaca perilaku konsumen, sehingga terjadi perilaku panic buying yang merupakan fenomena anomali dan merefleksikan sikap egois pada pengguna akhir. Stok minyak satu harga makin menipis, seharusnya pemerintah membatasi pembelian sejak awal diberlakukannya kebijakan. YLKI menduga bahwa terdapat praktik kartel dalam penetapan harga minyak goreng di pasar dalam negeri. YLKI lantas mendesak pemerintah untuk mengatur Domestic Market Obligation (DMO) dan patokan harga CPO untuk kebutuhan domestik.
Walaupun di pasar sudah tersedia yang dibutuhkan, tetap saja masyarakat terprovokasi memborong pasokan minyak goreng yang ada. Jadi secara tinjauan consumer behavior dan panic buying bukanlah dipicu oleh kelangkaan, melainkan karena publik mempersepsi tidak adanya kejelasan jaminan ketersediaan barang yang mereka butuhkan. Kondisi ketidakpastian tersebut kemudian menimbulkan perasaan terancam dan tidak aman. Produsen diharap untuk segera mempercepat pendistribusian minyak goreng dan memastikan tidak terjadi kekosongan stok di tingkat pedagang dan pengecer, serta pemerintah harus lebih teliti dalam mengkaji konsumennya, dan media pun tidak perlu membuat isu yang menghebohkan (membuat panik masyarakat). Dengan kebijakan ini, harga minyak goreng dapat menjadi lebih stabil dan terjangkau untuk masyarakat, serta tetap menguntungkan para pedagang, distributor hingga produsen.
Solusi lain yang dilakukan pemerintah saat ini adalah memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai). Presiden Joko Widodo menerangkan “Bantuan itu akan diberikan kepada 20,5 juta keluarga yang termasuk dalam daftar Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH), serta 2,5 juta PKL (Pedagang Kaki Lima) yang berjualan makanan gorengan”. Lebih detailnya beliau menjelaskan bahwa BLT akan diberikan sebesar Rp 100.000 setiap bulannya selama 3 bulan, mulai dari bulan April hingga bulan Juni. Beliau juga menuturkan “Saya minta Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, dan TNI serta Polri berkoordinasi agar pelaksanaan penyaluran bantuan ini berjalan dengan baik dan lancar”.
Menurut saya, BLT minyak goreng adalah program yang kurang tepat untuk mengatasi permasalahan yang kini dihadapi oleh masyarakat, karena pasti ada bantuan yang tidak tepat sasaran. Jika bantuannya tidak tepat sasaran, maka masyarakat akan semakin protes (karena merasa dirinya layak untuk mendapatkan BLT, namun yang mendapatkan BLT justru orang lain yang lebih mampu atau yang sudah terdaftar BLT tetapi ada syarat yang menyusahkan dan akibatnya BLT tersebut tidak diterima).
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, Putry, Basuki Sigit, dan Melli Suryanty. “Tangga Di Kota Bengkulu Influences Factors of Purchase Cooking Oil At the Household Level in Bengkulu City.” Agrisep 16, no. 1 (2017): 97–108.
Purba, Jan Horas V, dan Tungkot Sipayung. “Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan.” Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia 43, no. 1 (2017): 81–94. http://jmi.ipsk.lipi.go.id/index.php/jmiipsk/article/view/717/521.
Yani, Farida, dan Ahmad Surya Irawan. “Sosialisasi Penggunaan Minyak Goreng Beku Dari Kelapa Sawit Di Kalangan Ibu- Ibu Rumah Tangga Di Desa Suka Raya, Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang.” Amaliah: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat 3, no. 1 (2019): 284–91. https://doi.org/10.32696/ajpkm.v3i1.242.
Nasution, Asrindah. “Panic Buying Masyarakat Terhadap Kenaikan Harga Dan Kelangkaan Minyak Goreng Di Kota Medan Denai”. Jurnal Bisnis Corporate. Vol. 6 No. 2 (Desember, 2021).
By: Salsabila Laili Ramadhanti
Belum ada Komentar untuk " FENOMENA KELANGKAAN MINYAK GORENG DI INDONESIA "
Posting Komentar