LUAS DAN LUWES DALAM BERAGAMA

 Luas dan Luwes dalam Beragama

Oleh BIYANTO *)

Luas dan Luwes dalam Beragama


DALAM suatu kesempatan, almarhum Abdul Malik Fadjar pernah mengatakan bahwa beragama itu seharusnya luas dan luwes. Penting ditegaskan, yang harus diperluas dan diperluwes bukan agamanya, melainkan pemahaman umat terhadap ajaran agama. Karena itulah, setiap pemeluk agama dan pengikut paham keagamaan penting memiliki wawasan dan pergaulan yang luas. Dengan wawasan dan pergaulan yang luas, akan terbangun cara berpikir, bersikap, dan berperilaku yang luwes dalam beragama.

Karakter luas dan luwes ini penting karena setiap umat beragama menghadapi tantangan yang sama, yakni pluralitas agama dan paham keagamaan. Karakter luas dan luwes itulah yang membuat umat memiliki kesiapan untuk hidup dalam suasana yang majemuk. Dengan demikian, pandangan keagamaan umat menjadi lebih terbuka sehingga terbangun kesadaran terhadap pentingnya menghargai perbedaan (respect to diversity). Kondisi itulah yang disebut Abdul Mukti Ali (1989) dengan bersepakat dalam perbedaan (agree in disagreement).

Sementara orang yang tidak memiliki karakter luas dan luwes dalam beragama akan selalu berpandangan: He who is not with me is against me (Orang yang tidak sama dengan saya adalah musuh saya). Dalam kehidupan keberagamaan yang pluralistis, pandangan ini tentu sangat berbahaya karena dapat menghadirkan teror bagi orang atau kelompok lain. Dampaknya, mereka yang terteror mengalami ketakutan dan kengerian yang luar biasa. Pandangan ini pada saatnya juga akan melahirkan ”khawarij gaya baru/neokhawarij” yang memandang enteng penderitaan, bahkan kematian orang lain.

Dalam perspektif Yusuf Al Qardhawi (2007), kelompok-kelompok keagamaan yang radikal itu disebut sebagai ”Dhahiriyyah Baru”. Mereka memiliki enam karakter utama: pemahaman agama yang literal, keras dan menyulitkan, sombong terhadap pendapat mereka, tidak menerima perbedaan pendapat, mengafirkan orang di luar kelompoknya, serta tidak peduli pada fitnah. Enam karakter itu mengakibatkan mereka selalu berpandangan binaris dalam berbagai persoalan keagamaan. Umat digolongkan menjadi kelompok kami (ingroup, minna) dan kelompok mereka (outgroup, minhum).

Sikap memutlakkan pandangan diri dan kelompoknya sebagai yang paling benar akan mengakibatkan terjadinya klaim kebenaran (truth claim). Bermula dari sikap memonopoli kebenaran inilah seseorang atau kelompok mudah menyalahkan, bahkan mengafirkan mereka yang berbeda dengan dirinya. Sikap ini muncul umumnya disebabkan kurang luasnya wawasan dan pergaulan. Jika menggunakan bahasa gaul anak-anak muda sekarang, mereka yang tidak luas dan luwes dalam beragama karena ”kurang jauh ngopinya”. Istilah ”kurang jauh ngopinya” dapat dipahami dalam konteks miskin wawasan dan pergaulan.

Berkaitan dengan sikap luas dan luwes dalam beragama, penting diperhatikan pandangan Muhammad Asad (Leopold Weiss) tatkala memahami kata hikmah: ikhtilafu ummatiy rahmah (perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat). Muhammad Asad memahami pernyataan ini dengan ”perbedaan di kalangan umatku yang terpelajar merupakan rahmat”. Dengan pemahaman ini, Muhammad Asad seakan ingin menegaskan bahwa perbedaan yang menghadirkan rahmat itu terjadi jika dialami mereka yang berwawasan luas. Sebaliknya, perbedaan akan menjadi bencana jika terjadi pada orang-orang yang tidak terdidik dan miskin pergaulan.

Harus diakui, secara sosiologis wijhah (pandangan/orientasi keagamaan) Islam di negeri tercinta ini berwajah banyak (dzu wujuh). Hal itu dapat diamati dari berbagai aliran/paham keagamaan yang tumbuh kembang dengan pesat. Namun, akhir-akhir ini wajah Islam Indonesia diwarnai munculnya kelompok-kelompok keagamaan yang mudah sekali menyalahkan pihak lain. Bahkan, tidak jarang kelompok tersebut menggunakan jalan kekerasan dalam berdakwah. Ironisnya, tindakan anarkistis itu dikatakan bagian dari dakwah untuk memerintah pada kebaikan dan mencegah kemungkaran (al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ’an al-munkar).


Pandangan itu merupakan sikap yang berlebihan dalam menerjemahkan ajaran dakwah amar makruf nahi mungkar. Apalagi, tugas amar makruf nahi mungkar sejatinya tidak boleh dilakukan sembarang orang. Pembaru (mujadid) muslim ternama Jalaluddin Al Suyuthi berpendapat bahwa tidak semua orang dapat menyuruh pada yang makruf (apa saja yang dipandang baik dan diperintahkan syara’) dan melarang yang mungkar (apa saja yang dipandang buruk, diharamkan, dan dibenci syara’).


Al Suyuthi menegaskan bahwa hanya ulama dan penguasa yang berhak untuk menjalankan tugas amar makruf nahi mungkar. Ulama berhak menjalankan tugas tersebut karena memiliki ilmu. Sedang penguasa dipandang dapat menunaikan tugas itu karena memiliki kekuasaan. Salah satu tugas pemerintah adalah membawa bangsa ke arah kemuliaan dan menyelamatkannya dari kerusakan. Tugas pemerintah ini akan efektif jika disertai integritas aparat penegak hukumnya. Dengan kekuasaan dan integritas yang dimiliki aparat, pemerintah memiliki kewibawaan untuk memerintahkan yang baik serta melarang dan menghukum pelaku kemungkaran.

Al Suyuthi juga menegaskan bahwa tugas amar makruf nahi mungkar harus dilaksanakan dengan tetap mengedepankan prinsip kasih sayang dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Itu berarti untuk menjalankan prinsip mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran tidak boleh disertai dengan melakukan kemungkaran yang serupa. Karena itulah, berdakwah seharusnya dilakukan dengan tanpa kekerasan. Bukankah prinsip dalam berdakwah semestinya mengajak dan merangkul?

Nabi Muhammad SAW juga berpesan agar dalam berdakwah kita selalu berpegang pada prinsip untuk mempermudah dan tidak mempersulit, menggembirakan dan tidak menakut-nakuti. Prinsip itu penting menjadi pegangan para pengemban misi dakwah Islam (mubalig/dai). Untuk menjalankan tugas penting itulah, para mubalig harus membekali diri dengan wawasan keagamaan yang luas dan luwes dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Para mubalig memiliki posisi penting untuk menghadirkan wajah Islam Indonesia yang ramah, bukan Islam yang penuh amarah. Jika dakwah keagamaan dilakukan dengan luas dan luwes, pada saatnya akan membentuk karakter umat yang moderat (wasathiyyah) dan berpikiran terbuka. (*)

*) Biyanto, Guru besar filsafat UIN Sunan Ampel, wakil sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

https://www.jawapos.com/opini/31/12/2020/luas-dan-luwes-dalam-beragama/

Belum ada Komentar untuk "LUAS DAN LUWES DALAM BERAGAMA"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel