Konsep Dasar Pendidikan Islam

Konsep Dasar Pendidikan Islam

Adapun konsep dasar pendidikan islam mencakup pengertian istilah tarbiyah, ta’lim danta’bid. Abdurrahman An-Nahlawi mengemukakan bahwa menurut kamus Bahasa Arab, lafaz At-Tarbiyah berasal dari tiga kata, pertama, raba-yarbu yang berarti bertambah dan bertumbuh. Makna ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 39. Kedua,rabiya-yarba yang berarti menjadi besar.  Ketiga, rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara.[1]

Kata Tarbiyah merupakan masdar dari rabba-yurabbi-tarbiyatan. Kata ini ditemukan dalam Al-Qur;an surat Al-Isra ayat 24.
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Dr. Abdul Fattah Jalal, pengarang Min al-Usul at-Tarbiyah fii al-islam (1977: 15-24) mengatakan bahwa istilah ta’lim lebih luas dibanding tarbiyah yang sebenarnya berlaku hanya untuk pendidikan anak kecil. Yang dimaksudkan sebagai proses persiapan dan pengusahaan pada fase pertama pertumbuhan manusia (yang oleh Langeveld disebut pendidikan “pendahuluan”), atau menurut istilah yang populer disebut fase bayi dan kanak-kanak. Pandangan Fattah tersebut didasarkan pada dua ayat sebagaimana difirmankan Allah SWT surat al-Isra ayat 24 dan As-Syuara ayat 18.[2]
قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيدًا وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِينَ
“Firaun menjawab: “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu.”

Kata ta’lim menurut Fattah merupakan proses yang terus menerus diusahakan manusia sejak lahir. Sehingga satu segi telah mencakup aspek kognisi dan pada segi lain tidak mengabaikan aspek afeksi dan psikomotorik. Fattah juga mendasarkan pandangan tersebut pada argumentasi bahwa Rasulullah saw, diutus sebagai Muallim, sebagai pendidik dan Allah SWT sendiri menegaskan posisi Rasul-Nya yang demikian itu dalam surat Al-Baqarah: 151.[3]

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”

Dalam Pandangan Syaikh Muhammad An-Naquib Al- Attas, ada konotasi tertentu yang dapat membedakan antara term at-tarbiyah dari at-ta’lim, yaitu ruang lingkup at-ta’limlebih universal dari pada ruang lingkup at-tarbiyah, karena at-tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial. Lagi pula, makna at-tarbiyah lebih spesifik karena ditujukan pada objek-objek pemilikan yang berkaitan dengan jenis relasional, mengingat pemilikan yang sebenarnya hanyalah milik Allah semata. Akibatnya, sasarannya tidak hanya berlaku bagi umat manusia, tetapi termasuk juga spesies-spesies lainnya. [4]

Muhammad Nadi Al-Badri sebagaimana dikutip oleh Ramayulis mengemukakan, pada zaman klasik, orang hanya mengenal kata ta’dib untuk menunjukkan kegiatan pendidikan. Pengertian seperti ini terus digunakan sepanjang masa kejayaan islam, sehingga semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh akal manusia pada masa itu disebut adab, baik yang berhubungan langsung dengan islam seperti fiqh, tafsir, tauhid, ilmu bahasa arab, dan sebagainya, maupun yang tidak berhubungan langsung seperti ilmu fisika, filsafat, astronomi, kedokteran, farmasi, dan lain-lain. Semua buku yang memuat ilmu tersebut dinamai kutub ala-adab. Dengan demikian terkenallah Al-Adab Al-Kabir dan Al-Adab Ash-Shagir yang ditulis oleh Ibnu Al-Muqaffa (w. 760 M).[5]

Menurut Al-Attas, ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya.[6]

Istilah yang paling relevan menurut Prof. Dr. Syed Muhammad al-Naquib Al-Attas bukanlah tarbiyah dan bukan pula ta’lim, melainkan ta’dib. Sementara Dr. Abdul Fattah Jalal beranggapan sebaliknya, karena yang lebih sesuai menurutnya justru ta’lim. Kendatipun demikian, mayoritas ahli kependidikan islam tampaknya lebih setuju mengembangkan istilah tarbiyah (yang memang berarti pendidikan, education) dalam merumuskan dan menyusun konsep pendidikan islam dibanding istilah ta’lim (yang berarti pengajaran, instruction) dan ta’dib (yang berarti pendidikan khusus dan menurut Al-Attas berarti pendidikan), mengingat cakupan yang dicerminkan lebih luas, dan bahkan istilah tarbiyah sekaligus mengimplisitkan makna dan maksud yang dicakup istilah ta’lim dan ta’dib. Selain itu, juga karena alasan historis bahwasannya istilah yang dikembangkan sepanjang sejarah, terutama di negara-negara yang berbahasa Arab, dan bahkan juga di Indonesia ternyata istilah tarbiyah, menyusul kemudian istilah ta’lim, dan jarang sekali istilah ta’dib dipergunakan.[7]
________________________________________
[1]Ibid, hal. 22
[2]Abdul Halim Soebahar. Wawasan Baru Pendidikan Islam, hal. 4
[3]Ibid, hal. 5
[4]Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan, hal. 24-25
[5]Ibid, hal. 26
[6]ibid
[7]Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru, hal.2
http://bambumoeda.wordpress.com/2012/06/11/konsep-dasar-pendidikan-islam/

Belum ada Komentar untuk "Konsep Dasar Pendidikan Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel