How are you Indonesian Education? This is Nadhiem Makarim’s policies

Indonesia merupakan negara berkembang baik dari aspek ekonomi,
sosial, maupun pendidikan. Global Talent Competitivness Index (GTCI) adalah
Pemeringkatan daya saing di seluruh negara yang menggunakan tolak ukur atas
kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh individu yang terdapat dalam suatu
masyarakat di negara tersebut. Pendidikan, Infrastruktur teknologi, tingkat
toleransi adalah beberapa indeks yang menjadi tolak ukur dari pemeringkatan
tersebut.
Menurut data yang
diambil dari pemeringkatan ASEAN Indonesia menempati posisi ke-enam dengan skor
sebesar 38,61. Sedangkan Singapura memperoleh 77,27 skor dengan peringkat
pertama, Malaysia 58,62 skor menempati posisi kedua, Brunei Darussalam
memperoleh 49,91 skor dan memperoleh pemeringkatan ke tiga dan Filipina dengan
40,94 Skor menempati posisi ke lima.
Dilihat dari data diatas menunjukkan bahwa tingkat Pemberdayaan
kualitas dan potensi di Indonesia memiliki daya saing yang lemah. Di kelas
ASEAN Indonesia menempati rank ke-6 dari 7 negara. Hal ini menjadikan titik
fokus yang harus diperhatikan khusunya dalam bidang pendidikan, mengingat bahwa
leluhur dari Negri ini di hari kemerdekaannya ia menyatakan cita-cita bangsa
yang tertuang dalam UUD 1945 di alenia ke-4 berbunyi “Mencerdaskan Kehidupan
berbangsa”.
Fenomena-fenomena yang terjadi diatas menjadikan titik tolak dari
kinerja tenaga pendidik di Indonesia untuk mengupayakan dan memaksimalkan
pendidikan yang ada. Pemerintah pun turut andil dalam mempersiapkan dan
memerangi kasus keterbelakangan pendidikan di Indonesia dengan pemberian dana
BOS, Undang-Undang yang mengatur tentang pendidikan di Indonesia dan tentunya
kementrian yang menaungi hal-hal tersebut yakni Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan yang biasa disingkat menjadi “Kemendikbud”.
Pada tahun 2019, seiring dengan penyusunan Kabinet kerja Presiden
Jokowi Jilid II Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki pimpinan baru
yakni Nadhiem Makarim, seorang pria berusia 35 tahun yang dahulunya adalah CEO
Go-Jek (Aplikasi yang sering digunakan di era digital ini).
Lalu, Apa yang dilakukan Nadhiem untuk
mengawali kerjanya ?
Awal tahun 2020, media digegerkan dengan kabar Nadhiem merombak
sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia. Sama Halnya dengan mentri-mentri
yang lain, di awal kerja ia menganalisa pendidikan di Indonesia kemudian
mengubah sistem yang sebelumnya sudah ada, seperti kalanya Muhadjir Effendy
(Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia tahun 2014-2019) yang merombak
kurikulum dari KTSP menuju Kurikulum 2013 yang singkat disebut K-13. Perubahan
yang dilakukan tentunya membutuhkan proses dan merubah sistem kerja, baik dari
perundang-undangan, materi, bahan ajar dan perangkat pembelajaran.
Kemudian apa sih perubahan yang
dilakukan Nadhiem saat ini?
Sabtu (30/11/2019), Pada saat pncak peringatan HUT Ke-74 Persatuan Guru
Republik Indonesia di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa
barat Menteri Nadhiem Makarim berjanji
untuk menyederhanakan kurikulum 2013. Nadhiem juga memberikan janji untuk
menyederhanakan peraturan, meningkatkan kualitas pendidik dan memperbaiki
sistem tunjangan.
“Saya juga mengajak para kepala sekolah untuk mengubah paradigma
pendidikan, berubah menjadi melayani guru dan siswa di seluruh Indonesia. Saya
inginkan mulai minggu depan merubah paradigma melayani dan membantu,”
ucapnya.
“Saya minta juga kepada guru untuk komitmen mengabdi dengan
maksimal dan terus meningkatkan kualitas dan terus belajar, saya yakin
pemerintah juga akan membantu guru dalam peningkatan,” ia menambahkan.
Selanjutnya, apa yang terjadi?
Beberapa minggu setelah pidato Nadhiem diperbincangkan oleh
khalayak umum, media kembali geger dengan pernyataan Nahiem akan wacana “RPP
1 Lembar” seperti yang telah diketahui bahwa tuntutan untuk tenaga pendidik
khususnya guru adalah melengkapi perangkat pembelajaran yang salah satu
didalamnya ada RPP, selama ini RPP dibuat tebal dan selengkap mungkin
berisi tentang Kompetensi pencapaian siswa, Langkah Pembelajaran, Media dan
Metode, Penilaian dan evaluasi pembelajaran. Tentu dapat dibayangkan lembar
yang dibuat hanya untuk 1 RPP.
Kedua, Pada bulan Januari
lalu Nadhiem meluncurkan kebijakan baru yakni “Merdeka Belajar” ini
merupakan kebijakan pertama yang diluncurkan. Kebijakan ini berupa pembenahan
sistem pendidikan di tingkat sekolah dasar dan menengah, salah satunya adalah
dihapusnya sistem Ujian Nasional (UN) kemudian diganti dengan Assesmen
kompetensi minimum dan survei berkarakter.
“Jadi seratus hari ini, semua kita analisis mana yang bisa
dilakukan sekarang, untuk mulai memotong rantai rantai sekat-sekat regulasi
yang menghalangi proses inovasi di dalam unit pendidikan kita. Lebih lanjut
lagi masuk ke peningkatan kualitas guru, kurikulum dan lain-lain itu masih
butuh waktu lebih lama untuk mematangkan konsep merdeka belajar ini,” ucap
Nadhiem dikutip, Senin (3/2/2020).
Strategi ini (Merdeka Belajar) merupakan bentuk pengupayaan dari
Kemerdekaan penyelenggaraan pendidikan dalam berbagai hal, misalnya regulasi
yang membebani tenaga pendidik dalam melaksanakan tugas utama yang mereka
miliki yakni melakukan kegiatan pembelajaran. Dan begitu juga Ujian Nasional
(UN) yang sifatnya subjektif dan terlalu banyak materi didalamnya sehingga
menuntut anak untuk hafalan. Sedangkan menurut Nadhiem sudah saatnya untuk
metode hafalan diganti dengan metode daya pikir analisis.
Apa lagi kebijakannya?
Ketiga, adalah mengenai kebijakan kedua yang diluncurkan oleh
Nadhiem, yakni “Kampus Merdeka”. Sesuai dengan edaran yang dibagikan
dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada 24 Januari 2020 mengenai
pokok-pokok kebijakan merdeka belajar yakni :
1.
Pembukaan Program studi baru dimana arah kebijakannya seperti berikut :
Pertama, PTN dan PTS diberi otonomi untuk membuka program studi
baru jika memiliki akreditasi A dan B. Memiliki kerjasama dengan Organisasi
nirlaba, Mitra Perusahaan, Universitas Top 100 rangking QS, atau institusi
multilateral (PBB, Bank Dunia, Gates Foundation, dll.).
Kedua, Kerjasama dengan organisasi berkaitan dengan Penyusunan
kurikulum, Praktik dan penempatan kerja. Kementrian pun akan melakukan
pengawasan.
Ketiga, Prodi yang diajukan bukan dari kesehatan dan pendidikan.
Dan Keempat, Prodi baru otomatis akan mendapatkan akreditasi C.
2.
Sistem Akreditasi Perguruan tinggi
Reakreditasi bersifat otomatis untuk seluruh peringkat, dan
bersifat sukarela bagi Perguruan Tinggi dan Prodi yang sudah siap naik peringkat
akeditasi. Dimana ketentuan pengajuan re-akreditasi dibatasi paling cepat 2
tahun, Peninjauan kembali akan dilakukan oleh BAN-PT jika ada indikasi
penurunan mutu yang berasal dari adanya pengaduan masyarakat dan penurunan
Jumlah pendaftar dan lulusan selama lima tahun bertutut turut.
Akreditasi A diberikan kepada prodi yang mendapatkan akreditasi
Internasional yang diakui (EQAR, CHEA, USDE, Washington Accord, WFME, APQR, Sydey Accord, Dublin Accord,
Seoul Accord dan Canberra Accord)dan ditetapkan melalui Keputusan Menteri.
3.
Perguruan Tinggi Negri Badan Hukum
Yakni mengenai kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan
satuan kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN-BH) dengan arahan
kebijakan sebagai berikut : Persyaratan dipermudah bagi PTN BLU dan Satker,
Dapat mengajukan PT nya sebagai PTN-BH tampa ada akreditasi minimum, dapat
mengajukan menjadi PTN-BH kapanpun apabila merasa sudah siap.
4.
Hak belajar tiga semester di luar Prodi, dengan arahan kebijakan berikut ini :
Pertama, Perguruan Tinggi wajib memberikan hak kepada mahasiswa
untuk secara sukarela mengambil sks diluar Perguruan Tinggi sebanyak 2 semester dan mengambil sks di PT
yang sama selama 1 semester.
Kedua, sks yang wajib diambil di prodi asal adalah 5 semester
(tidak berlaku untuk bidang kesehatan).
Ketiga, Perubahan definisi sks : setiap sks diartikan jam kegiatan
bukan jam belajar, definisi dari kegiatan : Belajar di dalam kelas, Praktik
kerja, Pertukaran pelajar, proyek wirausaha, riset, studi inependen dan KBM di
daerah terpencil.
Bagaimana fakta Peguruan Tinggi yang ada sekarang?
Kenyataan yang ada di lapangan sampai saat ini dapat dijabarkan
sebagai berikut :
Pertama, Aspek Pendirian prodi baru : Hanya PTN-BH yang
mendapat kebebasan membuka prodi, Proses perizinan membutuhkan waktu yang lama,
Prodi yang baru hanya mendapatkan akreditasi minimum bukan C.
Kedua, Aspek Sistem Akreditasi : Semua PT dan Prodi wajib
melakukan proses akreditasi setiap 5 tahun, Prosesnya akreditasi tersebut
memakan waktu 170 hari untuk Perguruan
Tinggi dan 150 hari untuk Program Studi dan terkait proses akreditasi dosen
menerima tambahan beban administrasi.
Ketiga, Aspek Perguruan Tinggi Badan Hukum : Perguruan
Tinggi Negri harus mendapat akreditasi A sebelum menjadi PTN-BH, Mayoritas
prodi yang ada didalam PTN harus mendapatkan akreditasi A sebelum menjadi
PTN-BH, PTN BLU dan Satker kurang memiliki fleksibilitas kurikulum dan
finansial apabila dibandingkan dengan PTN-BH.
Keempat, Aspek Hak belajar tiga semester diluar program studi :
Mahasiswa banyak yang tidak memiliki keleluasaan untuk mengambil kelas di luar
prodi di kampusnya sendiri, Bobot sks
untuk pembelajaran diluar kelas sangat kecil, Kebanyakan kampus praktik kerja
ataupun pertukaran pelajar dapat menunda kelulusan mahasiswa itu sendiri.
Apakah terjadi kontra terhadap kebijakan ini ?
Pasti. Tentu saja terjadi. Setiap kebijakan yangakan diberlakukan
pasti menuai pro dan kontra dimana didalamnya akan ada sebagian kelompok yang
berperan sebagai Proposisi dan sebagian lagi sebagai Oposisi.
Mengenai wacana “RPP 1 Lembar”, Taseman (Dosen PGMI Uinsa
Surabaya) menyatakan bahwa hal itu sebenarnya tidak perlu untuk di utik-utik
kembali, alangkah baiknya jika kementrian menitikberatkan fokus pada
tunjangan untuk tenaga pendidik, karena kesejahteraan mereka mempengaruhi
profesionalitas dan konsentrasi mereka terhadap tugas yang di emban yakni
Kegiatan Belajar Mengajar.
Yang kedua adalah pernyataan kontra mengenai “Merdeka belajar” oleh Badrul Ain (Kepala Sekolah MI Ihyaul Ulum
Gresik) yang menjelaskan bahwa apabila Ujian Nasional dihilangkan maka akan
mempengaruhi sistem evaluasi keberhasilan pendidikan per-daerah, dengan begitu
pemerintah tidak dapat mengumpulkan data global tentang daerah-daerah yang
memiliki kualitas pendidikan yang rendah karena selama ini Ujian Nasional sudah
menjadi tolak ukur yang sama di semua daerah.
Ketiga adalah pernyataan kontra secara tidak langsung mengenai “Kampus
Merdeka”
Menurut Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau
Pendidikan Indonesia – JPPI. Kebijakan Nadhiem mengenai Kampus merdeka
berorientasi pada pasar bebas terutama pada Aspek mempermudah suatu Perguruan
Tinggi menjadi PTN BH. Sedangkan PTN BH sendiri adalah salah satu wujud komersialisasi
pendidikan tinggi yang mengeksklusi mahasiswa dari kalangan bawah. Mempermudah
menjadikan suatu kampus menjadi PTN BH sama saja dengan memperluas praktek
komersialisasi dalam pendidikan.
Jadi ?
Adanya kebijakan-kebijakan yang diluncurkan oleh Nadhiem mendapat
respon dari berbagai kalangan masyarakat baik itu khalayak umum atau Institusi
penyelenggara pendidikan di Indonesia. Tentunya dari setiap kebijaka tidak
lepas dari sisi positif dan negatif. Apabila resmi diterapkan maka membutuhkan
uji coba terlebih dahulu, setelah dihimbau untuk diterapkan secara menyeluruh
maka harus diadakannya peninjauan dan evaluasi oleh pemerintah.
Pendidikan Indonesia yang seharusnya mampu mencetak anak bangsa
yang cerdas, berkarakter, mumpuni dalam teknologi dan memiliki daya saing yang
tinggi saat ini memerlukan inovasi-inovasi yang baru sesuai dengan kemajuan
globalisasi yang begitu pesat.
By: Dewi
Nur Syafitri
Belum ada Komentar untuk "How are you Indonesian Education? This is Nadhiem Makarim’s policies"
Posting Komentar