Bagaimana BULLYING Dapat Menumpulkan Mindset Anak?

Kata bullying
atau perudungan tentu tidak asing lagi bagi telinga kita. Bullying atau
perudungan merupakan perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang kepada
individu atau kelompok, dengan cara menyakiti secara sengaja, sehingga membuat
korbannya menderita dan tidak berdaya secara fisik maupun psikis. Fenomena lama
yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia ini, seolah-olah menjadi bagian yang
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan anak-anak, remaja dan dewasa. Bullying atau
perudungan bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, terutama di sekolah, di
rumah, dan di masyarakat. Bentuk kekerasan yang dilakukan juga sangat
bervariasi tidak hanya dalam bentuk fisik, seperti memukul, mendorong,memeras
dan merusak barang orang lain.
Kadang kala bullying
itu dapat berupa verbal seperti, menghina, membentak, menggunakan kata-kata
kasar dan mengancam. Ada juga bullying
yang berbentuk sosial seperti, mengucilkan, mengabaikan orang lain,
memanipulasi persahabatan sehingga retak. Dan tidak menutup kemungkinan di
zaman digital ini, bullying atau perudungan dapat dilakukan dengan mudah
melalui sarana elektronik diantaranya, komputer, handphone, internet, website,
chatting room, email dan media sosial. Bullying yang bertujuan
meneror korbannya dengan menggunakan tulisan, animasi, film, video, atau gambar
yang sifatnya memojokkan, menyakiti, menyudutkan dan mengintimidasi biasa
disebut cyberbullying.
Maraknya
berbagai aksi kekerasan atau bullying kian menghiasi berita pendidikan
Indonesia. Berita terupdate tahun 2020 yang juga menambah daftar panjang kasus
bullying yaitu perundungan sampai kekerasan sesama pelajar di SMPN 16 Kota
Malang, Jawa Timur. Mengutip dari detiknews tentang kasus bullying tahun
2019. Berdasarkan jenjang pendidikan, mayoritas kasus terbanyak ada di jenjang
SD sederajat mencapai 25 kasus atau setara 67 persen. Untuk jenjang SMP
sederajat mencapai 5 kasus, sedangkan jenjang SMA sederajat mencapai 6 kasus,
dan perguruan tinggi mencapai 1 kasus. Dari data yang diperoleh oleh KPAI
(Komisi Perlindungan Anak Indonesia) selama tahun 2019 tersebut menunjukan
bahwasanya kasus bullying tidak hanya dominan terjadi pada anak SD, akan
tetapi rentan terjadi di setiap usia, tidak menutup kemungkinan juga usia TK.
Berbagai kasus dan motif kekerasaan seakan menjadi tren disetiap tahunnya
sehingga terus meningkat. Korban bullying sekolah pada umumnya adalah
anak yang lemah, pemalu, pendiam dan anak speisal atau istimewa.
Dengan kata
lain seperti cacat, tertutup, atau mempunyai ciri-ciri tubuh tertentu yang
dapat menjadi bahan ejekan. Masalah sederhana seperti bullying ini jika
tidak ditanggapi secara serius pasti akan menghasilkan dampak atau efek yang
mengerikan. Banyak sekali kasus orang cemas, ketakutan, stress, depresi, merasa
tidak aman, bahkan ada yang sampai berbuat nekat membunuh pelaku bullying
atau mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Bagi pelaku bullying mereka
mendapatkan kepuasaan setelah menindas orang lain. Umumnya mereka cenderung
bersifat agresif, keras, mudah marah, dan impulsif (bertindak tanpa berfikir).
Mereka juga memiliki rasa percaya diri tinggi, harga diri tinggi, dan kurang
berempati. Pelaku bullying menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai,
merasa memiliki kekuasaan atas keadaan. Hal ini tentu sangat berpengaruh pada
hubungan sosialnya di masa depan.
Ada beberapa
faktor yang menyebabkan bullying terjadi, faktor pertama adalah faktor
pribadi anak itu sendiri. Maksudnya anak yang pernah mengalami kekerasan dari
orang tua cenderung lebih besar kemungkinan melakukan balas dendam pada
temannya atau orang lain, karena anak tersebut masih belum bisa mengatasi emosi
dirinya sendiri. Pola asuh orang tua yang otoriter dan sering menggunakan
hukuman fisik akan ditiru dan dipraktekan anak di lingkungannya. Contoh hukuman
fisik yang biasa terjadi pada seorang anak seperti perkataan “kamu harus nurut
apa kata ayah, kalau tidak nurut nanti ayah pukul”. Faktor yang kedua yaitu
faktor keluarga.
Maksudnya
adalah ketika seorang anak melihat kejadian atau peristiwa yang dilakukan oleh
kedua orang tuanya, saudarannya, dan kerabatnya yang mengandung unsur bullying
akan memberikan pengalaman yang sama pada seorang anak. Sehingga tidak menutup
kemungkinan mereka belajar dari kejadian tersebut, dan melakukan tindakkan yang
sama pada teman atau lingkungannya. Contoh real yang sering terjadi di sekitar
kita yaitu adu mulut dan pertengakaran antara ayah dan ibu. Dari faktor pertama
dan kedua sebenarnya saling berkaitan, pemberian pesan dan perilaku negatif
terhadap seorang anak akan lebih mudah dicontoh dan dilaksanakan dari pada
perilaku positif yang dialami dan diterimanya. Itulah sebabnya kunci karakter
seorang anak terletak pada keluarganya. Faktor yang ketiga adalah faktor
lingkungan. Maksudnya ketika seorang anak sudah tumbuh dan berkembang menjadi
remaja, mereka akan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Teman
sebaya dan lingkungannya akan sangat
berpengaruh besar pada perilakunya. Jika seorang anak bergaul dengan teman yang
memiliki masalah, kurang sopan dan membawa perilaku negative lainnya, lambat
laun anak tersebut juga akan berperilaku sama.
Cara
lingkungan dan teman sebaya mengajarkan mereka bullying adalah dengan
memberikan ide atau statement bahwa bullying wajar dilakukan, sehingga
seorang anak menganggap bullying adalah tindakan yang biasa-biasa saja
dan tidak berbahaya apabila dilakukan pada orang lain. Faktor yang ke empat
adalah faktor sekolah. Sekolah menjadi penyumbang kasus bullying
terbesar. Tercatat dari data KPAI sebesar 87,6 persen. Dengan rincian 29,9
persen kasus bullying dilakukan oleh guru, 42,1 persen bullying
dilakukan teman sekelas, dan 28,0 persen bullying dilakukan oleh teman
lain kelas. Hal ini menunjukan bahwa bullying juga dilakukan oleh
seorang guru yang seharusnya menjadi contoh untuk siswanya. Dari sinilah
seorang siswa seringkali menjadikan alasan meniru perilaku gurunya saat
ketauhan melakukan aksi bullying. Selain itu, ada beberapa kegiatan yang
menggunakan kekerasan seperti penerimaan anggota baru, yang mana siklus balas
dendam senior terhadap junior kerap kali terjadi meski sudah beberapa kali
mendapat peringatan keras. Siswa yang lebih tua akan semena-mena melakukan bullying
terhadap adik kelasnya dengan alasan adik kelasnya harus merasakan apa yang
dulu pernah dirasakan kakak kelasnya.
Akibatnya
korban akan merasa lemah dan tidak berani melaporkan hal tersebut pada guru
atau pihak sekolah. Faktor yang kelima adalah faktor media. Dizaman milenial
ini, media memberi dampak yang luas dan berkepanjangan bagi perilaku seorang
anak. Banyak sekali program televisi yang kurang mendidik. Video, game, dan
sarana sosial media yang juga menyuguhkan berbagai macam adegan kekerasan, seperti
film Doraemon yang ada di televisi. Dalam film tersebut, terdapat tokoh bernama
Giant yang menunjukan perilaku bullying terhadap Nobita. Bagi seorang
anak yang mengidolakan Giant akan meniru dan mempraktekannya dengan alasan
terlihat keren, gagah dan berani, padahal perilaku tersebut adalah bullying
dan tidak terpuji. Disinilah peran penting pendampingan orang tua agar
memberikan pemahaman mana perilaku yang boleh dilakukan seorang anak dan mana
perilaku yang harus dihindari oleh anak.
Dalam artikel
ini saya ingin menghadirkan beberapa problem solving terkait upaya mencegah
kasus bullying agar tidak terjadi lagi. Yang pertama kita mulai dari
lingkup keluarga, dalam lingkungan keluarga yang sangat berperan penting adalah
orang tua. Ajarkanlah konsep contoh perilaku positif yang bisa ditiru anak
dirumah. Orang tua bisa mencegah seorang anak menjadi pelaku bullying dengan
mensosialisasikan bahwa anak bisa menjadi hebat tanpa harus menjatuhkan dan
merendahkan orang lain.
Sesekali orang tua boleh memberi punishment,
namun hindari menggunakan hukuman fisik. Tanamkan rasa percaya diri sejak dini
dengan membantu mereka menggali potensi dan kelebihan yang dimiliki, sehingga
anak menjadi mandiri, berdaya dan tidak mudah dimanipulasi orang lain. Jangan
membunuh rasa percaya diri anak dengan segala kekurangannya, karena terkadang
secara tidak sadar orang tua menggatakan “kamu tidak bisa apa-apa”.
Tumbuhkan rasa kasih sayang antar sesama sehingga anak akan menebarkan kebaikan.
Hal tersebut akan mendapat feedback berupa rasa saling menghormati dan
menghargai orang lain. Buatlah suasana yang menyenangkan di rumah, berilah
perhatian, dan luangkan waktu santai untuk saling berbagi cerita antar anggota
keluarga. Jangan menekan dan memaksa anak menjadi seperti yang orang tua
inginkan. Berilah pendampingan kepada anak saat menggunakan handphone,
menonton televisi, bermain game dan sosial media.
Yang kedua
dari lingkup sekolah, sekolah merupakan pihak yang penting dalam memberi
sumbangsih terhadap pencegahan bullying. Sekolah bisa melakukan
sosialisasi anti bullying kepada warga sekolah dan orang tua. Memberikan
pendidikan parenting kepada orang tua tentang pola asuh yang benar pada
anak. Menegakkan aturan anti bullying yang telah disepakati bersama dan
memberi sanksi ketat pada pelaku bullying apabila menyalahi prosedur.
Meminta Mendikbud (Mentri Pendidikan dan Kebudayaan) memasukkan materi bullying
dalam muatan kurikulum yang sesuai dengan tahapan kognitif siswa. Sekolah bisa
membentuk sebuah pos pengaduan bullying. Menyediakan guru BK (Bimbingan
Konseling) dan psikologi pada setiap jenjang sekolah, hal ini akan memudahkan
sekolah dalam meminimalisir dan mengurangi kasus bullying yang terjadi
di sekolah. Tanpa terkecuali guru memberikan contoh yang baik dan tidak kasar
kepada muridnya. Menciptakan suasana kelas yang nyaman dan menyenangkan,
sehingga anak tidak bosan dan senang pergi ke sekolah. Memperketat pengawasan
saat jam kosong dan istirahat karena rentan terjadi bullying yang
diawali dengan permainan dan gurauan. Menciptakan sikap peduli terhadap teman
atau korban bullying baik dari sisi guru maupun siswa.
Yang ketiga
dari lingkup masyarakat, dalam masyarakat seringkali kasus bullying
terjadi pada anak berkebutuhan khusus. Masyarakat dapat membantu mencegah bullying
dengan cara meningkatkan sikap inklusif atau terbuka baik dalam perbedaan
fisik, ras, suku, budaya, agama, pandangan atau pemikiran dan perbedaan
lainnya. Masayarakat juga perlu meningkatkan rasa empati dan peduli terhadap
mereka yang menjadi korban bullying, bukan mendiamkan, acuh tak acuh
atau bahkan malah ikut bergabung dalam kelompok pelaku bullying. Apabila
ada kasus bullying, masyarakat sebaiknya menegur bukan malah sibuk
menyalahkan dan menghakimi. Berilah pengertian dan peringatan apabila anak,
tetangga, atau keponakan kita melakukan hal yang memicu terjadinya bullying
seperti saling meledek dengan nama orang tua atau bahasa daerah masing-masing.
Hal ini terlihat sepele, bahkan sebagian orang memaklumi dan menggangap ini hal
merupakan hal yang biasa bagi anak kecil. Padahal hal tersebut dapat
menyebabkan korban adu mulut, menangis dan saling pukul karena emosinya.
Bullying akan terus
terjadi apabila ada celah untuk melakukan tindakan tersebut. Oleh karena
itu, Perilaku bullying dapat
dicegah dan dihilangkan, pastinya dengan kerjasama dan kolaborasi berbagai
pihak mulai dari, orang tua, sekolah, dan masyarakat. Apabila celah tersebut
dapat ditutup atau paling tidak diminimalisir, maka frekuensi terjadinya bullying
akan menurun. Semoga tulisan ini memberi manfaat dan pelajaran baru bagi
siapapun yang membacanya.
By: Durroh Nasihatul Ummah
Belum ada Komentar untuk "Bagaimana BULLYING Dapat Menumpulkan Mindset Anak?"
Posting Komentar