Pendidikan Karakter Nasional dengan Pesantren

Pesantren dengan segala keunikannya telah membuat banyak kalangan tertarik untuk melihat pesantren lebih dalam serta ingin mempelajari dan mendalaminya. Membuat manusia yang pintar dan berkarakter lewat pendidikan pesantren dan pendidikan Nasional. Pendidikan pesantren yang dikenal dengan menerapkan pendidikan karakter. Pendidikan karakter di pesantren menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan, dengan munculnya fenomena pelajar yang ikut tawuran, pakai obat-obatan seperti narkoba dan lain-lain yang terjadi di kalangan luar pesantren menunjukkan betapa dunia pendidikan nasional gagal membuat manusia yang berakhlak mulia dan baik. 

Pondok PesantrenEducation is the most powerful weapon which you can use to change the world” begitu kata Nelson Mandela. Kalau dengan pendidikan bisa merubah dunia dalam pandangan Nelson Mandela, apalagi merubah sebuah negara Indonesia yang lingkupnya lebih kecil dibandingkan dunia. Merubah kearah yang lebih maju maupun yang terpuruk. Yang jelas, manusia secara mayoritas mengiginkan yang lebih baik.

Kemudian ada beberapa pertanyaan “dirubah menjadi apa negara ini?” dan dijawab oleh UU pasal 3 tentang sistem pendidikan Nasional yang menggambarkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dan sebenarnya sudah dijalankan lembaga pendidikan pesantren.

Tujuan pesantren tidak semata-mata memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, menghargai nilai-nilai kemanusiaan, mengerjakan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada tuhan.

Pandai hanya mengetahui sesuatu dari apa yang mereka baca atau dapatkan dari bangku kelas. Sehingga ketika menemukan realitas kehidupan yang berbeda dengan apa yang mereka dapatkan dalam kelas, maka merasa kesulitan dalam menyelesaikan problematika yang didapati. Berbeda dengan cerdas, peserta didik memang diajari menggunakan akal mereka untuk berpikir.

Mereka diajak menemukan sesuatu yang lain. Sehingga peserta didik terbiasa menggunakan akal mereka untuk berpikir, dan bisa menyelesaikan masalah baru dalam kehidupan mereka yang mereka dapatkan. Dalam konteks sejarah kelembagaan pendidikan, pesantren diyakini sebagai lembaga pendidikan formal pertama yang ada di Indonesia. Pesantren adalah sebagaimana disebutkan Nur Cholis Madjid, model sistem lembaga pendidikan ke-Islaman. Kesejarahan yang panjang yang dimiliki oleh pesantren membuat Nur Cholis Madjid berandai-andai “seandainya negeri kita ini tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren itu.

Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa nama seperti UI, ITB, UGM ataupun yang lain, tetapi mungkin namanya Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, bangkalan dab seterusnya”. Kutipan diatas menujukkan kepada kita bahwa sesungguhnya pesantren memiliki potensi yang besar untuk memenuhi kebutuhan pendidikan nasional. Tetapi sayang sekali pesantren mundur karena penjajahan sehingga sistem pendidikan nasional kita meneruskan sistem pendidikan kolonial. Jika kita menilai kolonialisasi itu buruk,berarti ada nilai-nilai baik dari pesantren yang hilang akibat kolonialisasai itu. Nilai-nilai itulah yang harus kita gali dan diaplikasikan kembali jika memang masih sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini.

Pada tahun 1980an Gus Dur membuat kajian menarik tentang pesantren sebagai subkultur. Untuk bisa dinyatakan sebagai subkultur pesantren, kata Gus Dur mempunyai tiga aspek yang cukup untuk memenuhi kriteria subkultur, yaitu: cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti dan kekuasaan yang ditaati sepenuhnya. Ketiga aspek itu didukung dengan bentuk fisikal lingkungan pesantren yang meliputi rumah kediaman pengasuh atau ndalem kesepuhan, bangunan asrama, ruang kelas untuk sarana kegiatan belajar-mengajar dan masjid sebagai tempat utama aktifitas para santri.

Dalam sistem pendidikan pesantren, santri atau anak didik berada dalam lingkungan pesantren selama satu hari penuh sehingga para pendidik atau pengasuh dapat mengawasi, membimbing dan memberi teladan kepada mereka secara total. Ini akan memudahkan usaha pencapaian tujuan-tujuan pendidikan. Inilah nilai pertama dari sistem pendidikan ala pesantren, bahwa pendidikan itu harus dimulai dari keteladanan seorang guru. Jika sang guru berakhlak baik, jujur ikhlas, tanggung jawab dengan amanat yang diembannya maka akan melahirkan anak didik yang berakhlak baik, jujur, ikhlas tanggung jawab sebagaiman gurunya.

Santri atau anak didik dipesantren berasal dari beberapa daerah yang berbeda diseluruh indonesia, juga dari golongan kelas masyarakat yang berbeda. Perbedaan latar belakang kedaerahaan tidak menjadikan pembedaan porsi pendidikan dan fasilitas didalam pesantren. Tidak ada fasilitas khusus bagi santri yang berada pada tingkat ekonomi bawah, menengah, ataupun atas mereka mendapat materi dan metode pengajaran yang sama, fasilitas asrama tempat tinggal yang sama, bahkan mereka dicampur. Satu kamar diasrama bisa terdiri dari asal daerah yang berbeda. Kerena metodologinya ini, pesantren mampu menciptakan suasana keakraban, pola hidup persaudaraan, jiwa kebersamaan dan toleran. Dalam pendidikan kepemimpinan, pesantren juga mengenalkan budaya organisasi yang melibatkan para santri secara langsung. Organisasi dalam sebuah pesantren dipimpin oleh seorang kiai yang bertindak sekaligus sebagai pengasuh. Untuk pelaksaan kebijakan biasannya tugas-tugas pemimpin pesantren dibantu oleh santri senior. Organisasi ini bertujuan memberikan pengalaman berorganisasi dan jiwa kepemimpinan untuk kelak nanti jika sudah hidup dimasyarakat luas. 

Keberadaan pesantren dengan sistem pendidikannya seperti itu, sesungguhnya sudah membantu kebutuhan pendidikan nasional. Lembaga pendidikan berasrama untuk memudahkan pengawasan terhadap tingkah laku dan perkembangan siswa, memdidik dengan keteladanan memberikan pembiasaan dalam bersikap, mengenalkan dan mendekatkan budaya lain dalam kehidupan nyata akan menilbulkan sikap kebersamaan dan toleransi terhadap orang lain, dan memberikan pengalaman bertindak dalam sebuah komunitas organisasi memberikan pendidikan kepada siswa untuk taat kepada peraturan dan kepemimpinan dalam masyarakat.

Dengan melihat keadaan pendidikan nasional yang banyak ditampilkan dengan kasus kriminal yang dilakukan oleh oknum siswa, oknum para guru bahkan praktisi pendidikan. Antar siswa tawuran, oknum guru berbuat kriminal atas siswanya, dan praktisi pendidikan mengkorupsi biaya pendidikan dan masyarakat main hakim sendiri, maka sistem pendidikan pesatren kedalam pendidikan nasional menjadi penting, dan tentunya harus dilakukan pengembangan untuk memenuhi kebutuhan dan menjawab problem diera moderen ini.

Inilah salah satu langkah untuk memeperbaiki kualitas pendidikan yang harus dipahami oleh semua elemen pendidikann yang harus dipahami oleh semua elemen pendidikan, baik yang terlibat langsung dalam lembaga pendidikan maupun orang tua dan masyarakat luas yang mendidik anak-anaknya secara kultural.

By: Indana Ilma Silviah

Belum ada Komentar untuk "Pendidikan Karakter Nasional dengan Pesantren"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel