Kuliah Untuk Menjadi Ibu

Prakkkkkkk....
Suara gelas
pecah dari ruang dapur, wajah dia panik dalam kondisi demikian, dia bingung,
takut pada mertuanya jika melihat apa yang telah ia perbuat. “Dasar istri nggak
bisa apa-apa, nggak pernah belajar di dapur, kerjannya di luar, sudah setahun
berumah tangga kamu nggak bisa apa-apa di dapur Ani?” ketus Jonah –mertua Ani
mempergoki Ani yang kesekian kali memecahkan gelas saat mencucinya.
Ia hanya diam
tak membalas omongan mertuanya, ia memungut pecahan gelas yang bercecer di
lantai. Ia hanya bisa diam saat mertuanya mencercanya omelan karna ia kurang
mahir dalam urusan dapur. Setelah menetapkan dirinya menjadi ibu rumah tangga, Ani terus belajar urusan interior. Wajar
saja, jika ia masih canggung ketika berhadapan dengan dapur, tidak seperti
menantu tetangga lainnya yang bisa mengurus ini dan itu tanpa bertanya terlebih
dahulu. Mungkin kebiasaan mereka dulu, diajarkan oleh ibunya sebelum berumah
tangga.
Ani yang dulu,
saat masih kuliah ia sangat aktif mengkuti berbagai organisasi. Hal demikian
yang mejadikan ia sekarang kurang mengerti masalah dapur, mungkin tahu tapi
sekedarnya saja. Management peribu rumah tangga kurang begitu digelutinya dulu,
tapi bukan berarti ia kesampingkan. Tetap ia pikirkan meski tak pernah
dipraktekkan.
Ia menikah
dengan Soraya kakak angkatan di kampusnya. Ia bertemu Soraya dalam sebuah acara
kongres yang digelar organisasi yang diikuti Ani, waktu itu Ani menjadi moderatornya, dan
Soraya salah satu peserta yang aktif dalam diskusi. Dari perkenalan singkat itu
Soraya melamar Ani. Ia kagum akan integrasi keilmuan dan sikap dewasa yang Ani
miliki.
Singkat waktu
mereka menikah. Sebelum menikah mereka saling berkomitmen dalam menjalankan
rumah tangganya nanti. Ani yang dulunya
wanita aktifis, diminta Soraya tidak terlalu aktif seperti masa ia menjadi
mahasiswa. Boleh bekerja hanya sewajarnya,
karana kemampuannya dalam seni komunikasi bagus akhirnya ia menjadi
motivator dalam sebuah acara seminar-seminar. Tak setiap hari ia mengisi acara,
namun ia jarang berada di rumah waktu pagi hingga sore hari, hanya waktu malam
ia tak keluar. Setidaknya aktifitasnya tidak sepadat dula ketika ia masih
menjadi mahahsiswa.
Ia tidak ingin
apa yang dipelajari dulu terbuang hilang begitu saja setelah ia menikah. Soraya
pun tak melarangnya, asal malam hari tak keluar. Sedangkan suaminya bekerja sebagai karywan
disebuah kantor perbankan.
Ani dan Soraya
menjalani rumah tangganya dengan tenang, romantis dan harmonis. Komunikasi terjalin
dengan baik, Ani menikmati aktifitasnya sebagai ibu rumah tangga yang kadang
keluar menghadiri seminar. Soraya pun demikian, ia menerima Ani dengan segala
aktifitas dan gaya pemikirannya. Ia banyak belajar tentang hal baru, hal yang
tidak ia pelajari dalam kampus dan organisasi, belajar dalam hal rumah tangga,
meski ibu mertuanya sering mengomelinya ketika ia tak bisa mengerjakan apa yang
ibu mertuannya perintahkan. Bukan berarti ia tak bisa mengerjakan pekerjaan
rumah tangga, hanya saja ibu mertunya sering membandingkan dengan menantu
tetangga yang jelas beda cara berfikir dan latar belakannya.
Hari demi
hari, bulan demi bulan mereka lalui. Genap empat bulan usia pernikahan mereka,
Ani hamil, perubahan psikis dan kondisi biologis pun terjadi pada diri Ani. Ia
yang dulunya bisa dikatakan wonder women setelah hamil ia sering merasa
lelah. Ia pun sering memendam amarah saat ibu mertua murka, karna masalah rumah
tangga belum selesai. Namun ia masih semangat. Hamil tak menjadikan ia putus
dalam menjalani aktifitasnya sebagai motivator. Ia bertahan karna izin dan
semangat yang diberikan Soraya-suaminya.
Badai itu
datang, hinggap dalam nahkoda cinta yang mereka bangun. Setelah melahirkan anak
pertamanya, kesibukan semakin bertambah. Tugasnya sebagai istri, ibu, serta
sebagai perempuan motivator sering kali mendapat teguran bahkan makian dari
tetangga selalu menjadi cambuk hatinya. Tak sekedar gosip yang ia dengar,
omongan langsung dengan kata-kata yang kurang pantas sering ia dapatkan. “
Walah... gitu ya ternyata orang berpendidikan tinggi malah sering keluyuran,
anaknya dititipkan, kalau saya punya anak perempuan tidak akan saya sekolahkan tinggi, percuma sekolah tinggi
kalau masak saja belum becus” ungkap segerombolan tetangga saat berpapsan
dengan Ani.
Ia semakin
tidak tenang, gelisah dan megeluh pada suaminya perkara gunjingan tetangga. Keadaan
ini bertambah buruk pasca kejadian yang menimpanya. Suatu ketika, saat ia sibuk
mempersiapkan bahan materi motivasinya, disaat itu pula anaknya sedang tidur. Dalam
keadaan yang sama, ibu mertuanya juga sedang kurang enak badan minta dibikinkan
bubur ayam. Ani pun beranjak dari tempat duduknya. Keluar membeli bubur
meninggalkan anaknya yang masih tidur. Karena membuat bubur ayam membutuhkan waktu
lama, sedangkan ia harus menyelesaikan materinya sebelum anaknya bangun.
Ketika Ani
masih berada di luar untuk membeli bubur, anaknya terbangun menangis tidak ada
yang menggendong. Ibu mertuanya pun mendengar tangisan anaknya. Ia memanggil
Ani yang tidak memberikan jawaban, ia menuju kamar Ani. Setiba di kamara,
didapati cucunya menagis terbalut
selimut berukuran kecil dengan posisi nyaris jatuh. Segera ia gendong cucunya,
dengan geramnya ia memandang laptop yang masih nyala dengan beberapa buku yang
masih terbuka. Ia menyangka tindakan Ani yang demikian disebabkan pekerjaan Ani
di luar.
Cucunya
yang masih menangis ia bawa keluar
kamar, sampai di depan ruang tamu Soraya datang. Ia menanyakan keberadaan Ani,
dan mengapa bisa terjadi demikian. Wajah ibunya yang memerah dengan pandangan
sinis menatap kedatangan Ani yang membawa plastik keresek isi bubur ayam. “Tanyakan saja pada istrimu” ucapnya ketus.
Ani menjelaskan kronologi kejadiannya di depan suami dan ibu mertuanya. Soraya yang
paham betul sifat sang istri bisa menerima alasannya. Tapi tidak dengan ibunya.
Ibunya tetap
mengungkit kejadian itu, kejadian itu terjadi karna Ani mementingkan pekerjaan
luarnya ketimbang jadi ibu rumah tangga.
Ibunya membujuk Soraya untuk tidak mengizinkan Ani sebagai motivator. Fokus
saja jadi ibu rumah tangga mengurus suami, anak dan mertuanya. Belajar masak
dan mengurus segala rumah tangga. Ibunya tak mau menerima alasan lainnya, meski
dalam kesibukannya Ani selalu memenuhi kewajibannya sebagai istri maupun ibu. Ani
mendengar segalanya, dan ia tak mau suaminya menjadi durhaka karna keinginannya
dalam bekerja.
Malam itu,
Soraya termengu oleh hening malam, matanya memburam melihat beberapa artikel
yang tertera di koran. Secangkir kopi hitam datang, sang pujaan hadir dalam angan dan kenyataan.
Benturan gelas dan meja membuyarkan lamunanya, lamunan perkataan ibunya
mengenai Ani -istrinya. “Sedang memikirkan apa sayang?” mengelus pundak
suaminya. “Oh... tidak.. tidak apa-apa sayang, kamu belum tidur?”. Ani membalasanya
dengan senyum, lalu duduk di dekatnya.
Dalam balutan
cinta, Ani sejenak memejamkan mata, menguatkan hati dengan menyandarkan kepala
di bahu Soraya, berkata “ Mas, benar juga yang dikatakan ibu, aku ingin fokus
pada keluarga dan menjadi motivasi untuk diriku serta keluarga” ucapnya dengan
menahan isakan supaya jangan sampai keluar. “Sayang, saya tak pernah menuntut
kamu untuk selalu di rumah, selagi kegiatanmu masih dalam batas wajar saya
izinkan” menutup percakapan.
Ani tetap pada
keputusannya, berhenti dari segala aktifitas di luar rumah bertekad menjadi ibu
rumah tangga yang selalu di rumah. Meski demikian, ia belum terbiasa dengan
gaya hidup barunya. Ia berusaha untuk selalu ada pada keluarga, walau gulatan
hati terkadang datang menyapa. Dilihatnya pekarangan yang luas dengan taburan
bunga-bunga, lebah yang aktif mencari
madu dalam bunga, ia pandangi dari bilik kaca dapur. Matanya tertuju pada
lebah-lebah itu, sedangkan ingatannya mengingat
dirinya yang dulu -aktifis mahasiswa.
Hatinya
bertanya, tak tahu pertanyaan ditujukan pada siapa. Dalam diam ia bercerita,
dahulu aku mahasiswa yang aktif dengan segala kegaiatan, berbagai macam
keilmuwan saya pelajari guna memperkaya pengetahuan dan pengalaman, yang
merupakan bekal hidup. Sekarang, aku belajar hal baru, menjadi ibu dan menantu.
Sia-siakah usahaku dulu?, sekolah dan segalanya jika sekarang tak kulakukan?. Tidak!,
apa yang saya lakukan dulu, walau tak kupraktekkan sekarang, bekal itu masih
berarti. Ya! Bekal untuk mempersiapkan generasi yang lebih baik, aku butuh
pengetahuan untuk menyiapkan generasi itu.
Apakah akan
sama generasiku nanti dengan nasibku? Yang harus menyiapkan generasi selanjutnya?,
bergunakah usahaku kini, jika pada akhirnya berujung pada takdir?, Tidak ada yang sia-sia, apapun usaha saya dulu
dengan ekspektasi lain, di sini aku juga berperan besar menyiapkan generasi
yang akan datang dengan bekal pengetahuan dan segudang pengalaman yang
kulakukan dan ku cari sampai titik Perguruan Tinggi.
By Zulfa
Belum ada Komentar untuk "Kuliah Untuk Menjadi Ibu"
Posting Komentar